REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya buka suara soal rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Pernyataan Jokowi ini disampaikan usai menerima Presiden Konfederasi Serikat Pekerja (KSPI) Said Iqbal dan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nuwa Wea di Istana Bogor, Senin (30/9).
Dalam pertemuan tersebut, perwakilan buruh meminta pemerintah mempertimbangkan lagi rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan, khususnya kelas III, yang menurut jadwal akan dilakukan per Januari 2020 nanti. Kenaikan iuran BPJS ini dianggap akan 'memukul' perekonomian masyarakat buruh.
Menanggapi permintaan buruh, Jokowi berjanji akan mempertimbangkannya. Ia mengaku akan mencoba menghitung kembali kebijakan ini.
Meski begitu, secara tak langsung presiden juga menyampaikan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan memang tak terelakkan lantaran defisit yang ditanggung terus membengkak.
"Nanti kita pertimbangkan karena memang kita juga harus berhitung, berkalkulasi. Nanti kalau kenaikan BPJS (Kesehatan) tidak kita lakukan yang terjadi juga defisit besar di BPJS. Semuanya dihitung, dikalkulasi," ujar Jokowi di Istana Bogor, Senin (30/9).
Dalam tuntutannya kepada Jokowi, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja (KSPI) Said Iqbal menilai bahwa kenaikan iuran BPJS Kesejatan kelas III akan memberatkan rakyat dan menurunkan daya beli masyarakat. Ia pun mendesak agar iuran BPJS Kesehatan kelas III ini urung dinaikkan.
Sesuai rencana, pemerintah tetap kukuh menaikkan iuran BPJS Kesehatan kelas I, II, dan III per 1 Januari 2020 mendatang. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani sempat menjelaskan, kebijakan kenaikan iuran BPJS bukan perkara negosiasi antara pemerintah dengan parlemen, namun pencarian solusi atas defisit keuangan yang dialami lembaga tersebut. Namun untuk PBI (Penerima Bantuan Iuran) walau ada kenaikan, negara tetap membayar.