REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Nawawi menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Namun, yang paling dikuasainya adalah ilmu fikih dan hadis. Menurut sebuah riwayat, dalam dua bidang ini, Nawawi dikenal sebagai pakarnya. Dalam bidang fikih, ia menganut Mazhab Syafi'i dan dijuluki sebagai Muharrir al-Mazhab Syafi'i (korektor Mazhab Syafi'i).
Nawawi juga dikenal hafal fikih Mazhab Syafi'i, kaidah-kaidah fikih, usul, dan furu'-nya. Ia juga mengetahui secara detail mazhab-mazhab sahabat dan tabiin beserta khilaful ulama, persetujuan, dan ijmak mereka. Bahkan, Nawawi juga mengetahui mana pendapat yang masyhur dan tidak dari pendapat-pendapat itu.
Sementara itu, dalam bidang hadis, Nawawi juga dikenal sebagai pakarnya. Ad-Dzahabi menyebutnya sebagai Sayyid Hadzihi at-Tabaqah (kepala ahli hadis masa kini). Nawawi mengenal baik hadis-hadis Nabi dan ilmu-ilmunya. Ia paham tingkat kesahihan hadis, kedhaifannya, raijul hadits, ataupun penggalian hukum dari hadis-hadis itu.
Nawawi juga dikenal sebagai pelaku sunnah Rasul. Ia berzuhud dengan apa yang telah diperolehnya dari hasil keringatnya sendiri. Ia tidak mau makan buah-buahan Damaskus yang diragukan kehalalannya. Gajinya sebagai pengajar di Darul Hadis Al-Asyrafiyah pun tidak diambilnya. Nawawi merasa cukup dengan uang yang diberikan orang tuanya. Ia juga tak mau mengambil hadiah murid yang pernah belajar padanya.
Ia juga sangat sopan terhadap ulama. Ketika ia menyebut nama orang saleh, ia menyebutnya dengan rasa hormat yang tinggi. Begitu juga dalam tugasnya sebagai penganjur kebenaran dan keadilan. Ia tidak peduli dengan cercaan orang walau maut menjadi taruhannya. ''Dalam amar ma'ruf nahy munkar, Nawawi tidak ada duanya,'' kata Ad-Dzahabi, sejarawan andal.
Ketegasan Nawawi ditunjukkannya ketika Raja Az-Zhahir Bibris al-Bindiqdary (w. 678 H), raja Dinasti Ayyubiyah, berencana memerangi pasukan Tartar yang berada di Syam (Sutiah). Raja meminta seluruh ulama untuk menandatangani fatwa yang membolehkan mengambil harta benda rakyat untuk biaya perang. Nawawi menolaknya.
Alasannya, Raja Zhahir telah banyak menggunakan uang negara untuk kepentingan raja pribadi. Di antaranya, untuk kebutuhan selirnya yang ratusan orang dan pembuatan tali pelana kuda untuk 1000 budaknya. Menurut Nawawi, andai uang itu dipergunakan untuk kebutuhan perang jauh lebih baik dibandingkan mengambil harta benda rakyat.
Nawawi wafat pada malam Rabu, 24 Rajab 676 H/22 Desember 1277 M, di Nawa. Sejarah hidupnya direkam oleh al-Sakhawi, Suhaimi, dan al-Suyuthi dalam karya-karya. Hingga akhir hayatnya, Nawawi tidak meninggalkan ahli waris karena ia tidak sempat menikah.
Namun, ia mewariskan sejumlah karya bagi umat Islam. Di antaranya, Syarh Muslim (kitab yang mensyarahi Shahih Muslim), Raudhah at-Thalibin (kitab standar dalam Mazhab Syafi'i), dan Al-Minhaj (kitab fikih yang menjadi kajian ulama dan pelajar). Kemudian, Riyadh al-Shalihin min Kalam Sayyid al-Mursalin, al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab, al-Adzkar, At-Tibyan, Adab al-Mugti wa al-Mustafti, Manaqib al-Syafi'i, Arbain an-Nawawiyah, dan lainnya.