Senin 07 Oct 2019 08:55 WIB

Saudi-Iran Buka Peluang Dialog

'Saya ingin menghindari perang.'

Serangan drone Houthi ke fasilitas pengolah minyak Arab Saudi, Abqaiq, menyebabkan kebakaran dan menghentikan setengah pasokan minyak di Buqyaq, Arab Saudi, Sabtu (14/9). Terlihat asap kebakaran membumbung.
Foto: Al-Arabiya via AP
Serangan drone Houthi ke fasilitas pengolah minyak Arab Saudi, Abqaiq, menyebabkan kebakaran dan menghentikan setengah pasokan minyak di Buqyaq, Arab Saudi, Sabtu (14/9). Terlihat asap kebakaran membumbung.

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Arab Saudi dan Iran telah mengambil langkah-langkah menuju perundingan tidak langsung. Ini dilakukan untuk meredakan ketegangan di Timur Tengah.

Menurut New York Times, Riyadh meminta Irak dan Pakistan untuk berbicara dengan pimpinan Iran tentang deeskalasi. Dalam sebuah laporan pada Sabtu (5/10), media tersebut mengatakan, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) meminta para pemimpin Irak dan Pakistan ikut membantu, setelah serangan terhadap dua fasilitas minyak Saudi pada 14 September 2019.

Baca Juga

Sebelumnya, Amerika Serikat (AS) dan Saudi menuding Iran atas serangan-serangan tersebut. Di lain sisi, pemberontak Houthi Yaman mengklaim bertanggung jawab atas tindakan itu. Serangan tersebut menghancurkan lima persen dari pasokan minyak mentah global.

Seperti dilansir di Aljazirah, Pemerintah Saudi mengatakan, Baghdad dan Islamabad telah menawarkan untuk menjadi penengah pembicaraan dengan Iran. Tapi, pemerintah membantah itu atas permintaan MBS.

Teheran terbuka untuk mengadakan pembicaraan dengan Riyadh. "Iran terbuka untuk memulai dialog dengan Saudi dan negara-negara lain di kawasan itu," ujar Ketua Parlemen Iran, Ali Larijani, beberapa waktu lalu.

Menurut dia, dialog antara Iran dan Saudi mampu menyelesaikan banyak masalah keamanan dan politik di kawasan itu. "Saya ingin menghindari perang," kata dia.

New York Times mengutip pejabat Irak dan Pakistan yang tidak ingin disebutkan namanya. Dia mengatakan, MBS meminta Perdana Menteri Pakistan Imran Khan untuk menengahi pertemuan di Jeddah bulan lalu. Kunjungan tersebut berlangsung pada 19 dan 20 September 2019.

MBS mengatakan kepada Khan, "Saya ingin menghindari perang," kata pejabat senior Pakistan itu.

Setelah itu, Khan berbicara kepada Presiden Iran Hassan Rouhani di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB. Saat Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi mengunjungi Jeddah pada 25 September 2019, MBS mengajukan permintaan yang sama.

Menurut seorang pejabat senior Irak yang enggan disebutkan namanya, Irak telah menyarankan ibu kotanya, Baghdad, sebagai tempat pertemuan potensial antara pemimpin Saudi dan Iran.

Saudi dan Iran telah mengambil sisi berlawanan pada berbagai konflik di Timur Tengah, termasuk perang di Yaman dan Suriah. Riyadh juga mendukung kampanye tekanan maksimum Presiden AS Donald Trump terhadap Iran. Pemimpin AS itu menjatuhkan sanksi hukuman terhadap Teheran setelah Washington membatalkan kesepakatan penting yang membatasi program nuklir Teheran.

Analis mengatakan, rekonsiliasi antara kedua kekuatan regional akan memiliki konsekuensi luas, terutama pada upaya Trump untuk mengisolasi Iran. Rouhani menolak pertemuan dengan Trump di Sidang Majelis Umum PBB.

Dia mengesampingkan pembicaraan antara kedua negara sampai Washington mencabut sanksi-sanksinya. Rouhani pun mengundang negara-negara regional untuk bergabung dengan koalisi harapan yang disebut-sebut akan menjanjikan upaya nonagresi dan tidak campur tangan dalam urusan satu sama lain.

Belum lama ini, Abdul Mahdi yakin, Arab Saudi ingin mengurangi ketegangan dengan Iran. "Tidak ada yang memiliki senjata yang diperlukan untuk menghadapi musuh mereka dengan pukulan fatal, kekacauan dan kehancuran akan menghantam wilayah itu secara keseluruhan," ujarnya.

Dia menyebut, semua pihak terbuka untuk berdialog. Iran, kata Abdul Mahdi, bersedia untuk bernegosiasi jika sanksi dicabut. "AS (juga) meminta dialog. Saudi juga tidak menutup pintu untuk dialog," ujarnya.

Di sisi lain, Pemerintah Iran mengatakan, tidak akan menyerah pada tekanan AS yang ingin menekan ekspor minyaknya. Teheran menegaskan, ekspor minyak adalah haknya yang legal.

"Kami akan menggunakan segala cara yang mungkin untuk mengekspor minyak kami dan kami tidak akan menyerah pada tekanan Amerika karena mengekspor minyak adalah hal legal Iran," kata Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh pada Ahad (6/10).

photo
Kerusakan akibat serangan drone di fasilitas pengolahan minyak Aramco di kilang minyak Kuirais di Buqyaq, Arab Saudi, Ahad (15/9).

Ekspor minyak Iran diketahui telah terpotong lebih dari 80 persen sejak AS menerapkan kembali sanksi ekonominya tahun lalu. Sanksi itu dijatuhkan setelah Washington hengkang dari kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).

AS tak hanya membidik ekspor minyak, tapi juga sektor keuangan, industri otomotif, dan logam mulia Iran. Sanksi berlapis itu semata-semata diterapkan agar Teheran bersedia merundingkan atau menegosiasikan kembali ketentuan JCPOA.

Alih-alih mematuhi tuntutan AS, Iran justru bertindak sebaliknya. Secara bertahap, Teheran mengurangi komitmennya dalam JCPOA. Pada Juli lalu Iran mengumumkan telah melakukan pengayaan uranium melampaui ketentuan yang ditetapkan JCPOA, yakni sebesar 3,67 persen. Teheran mengklaim, saat ini pengayaan uraniumnya telah mencapai lebih dari 4,5 persen.

Iran mengatakan, level pengayaan itu masih sangat jauh dari yang dibutuhkan untuk memproduksi senjata nuklir. Namun, dia siap melanjutkan aktivitas pengayaan uranium jika perekonomiannya masih dijerat sanksi AS.

Hal itu ditegaskan kembali oleh juru bicara Organisasi Energi Atom Iran Behrouz Kamalvandi. Dia mengatakan, jika pihak-pihak Eropa yang terlibat dalam JCPOA tak memenuhi janjinya untuk melindungi perekonomian Iran dari sanksi AS, komitmen Teheran terhadap kesepakatan nuklir 2015 akan terus dikurangi.

"Kami akan melanjutkan rencana kami untuk mengurangi komitmen kami pada kesepakatan nuklir jika pihak lain gagal menepati janji mereka," ujar Kamalvandi.n kamran dikarma/reuters, ed: qommarria rostanti

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement