REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Militer Irak mengakui mengerahkan kekuatan berlebih dalam menangani para demonstran di Baghdad, akhir pekan lalu. Setidaknya 13 orang dilaporkan tewas akibat bentrokan akhir pekan lalu.
“Kekuatan berlebihan di luar aturan keterlibatan telah digunakan dan kami telah mulai meminta pertanggung jawaban para perwira komandan yang melakukan tindakan salah ini,” kata militer Irak dalam sebuah pernyataan, Senin (7/10).
Panglima Angkatan Darat Irak juga telah memerintahkan pasukannya mundur dari Kota Sadr, yakni sebuah distrik perumahan yang luas di Baghdad. Tugas pengamanan diserahkan kepada Polisi Federal Irak.
Sadr merupakan salah satu lokasi yang dilanda huru-hara. Pada Ahad lalu, bentrokan antara pasukan keamanan dan pengunjuk rasa pecah di kota tersebut. Setidaknya delapan orang dilaporkan tewas dan 25 lainnya mengalami luka-luka.
Aksi demonstrasi di Irak telah berlangsung sejak 1 Oktober lalu. Masyarakat turun ke jalan memprotes permasalahan yang mereka hadapi, seperti meningkatnya pengangguran, akses terhadap layanan dasar, termasuk air dan listrik, yang terbatas serta praktik korupsi yang merajalela di tubuh pemerintahan.
Namun, gelombang demonstrasi berujung dengan pertumpahan darah. Bentrokan antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan telah menyebabkan sedikitnya 104 orang tewas dan lebih dari 6.000 lainnya luka-luka.
Kepala Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia semi-resmi Irak Aqeel al-Musawi telah mengecam tindakan represif dan brutal aparat keamanan terhadap demonstran. "Tidak ada pembenaran untuk penggunaan peluru tajam terhadap demonstran damai. Pemerintah memiliki tugas melindungi dan memungkinkan mereka untuk menyatakan tuntutan sah mereka dengan lancar," ujar al-Musawi.