REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Program Pembangunan PBB atau United Nations Development Program (UNDP) mencatat, tingkat kemiskinan Indonesia menurun 0,2 basis poin selama setahun. Yaitu dari 7,2 persen pada 2018 menjadi 7,0 persen dari total masyarakat Indonesia pada 2019.
Penurunan ini berdasarkan perhitungan menggunakan metode Multi-dimensional Poverty Index (MPI) atau indeks kemiskinan multidimensi. MPI dihitung berdasarkan tiga multidimensi (kesehatan, pendidikan dan standar kehidupan) yang dipecah ke 10 indikator.
Sepuluh indikator tersebut yakni, nutrisi, kematian anak, lama sekolah, tingkat kehadiran di sekolah, bahan bakar untuk memasak, sanitasi, air minum, listrik, perumahan dan aset. Hanya saja, perhitungan MPI Indonesia tidak menggunakan indikator nutrisi mengingat belum ada basis datanya.
Technical Advisor Development Finance UNDP Muhammad Didi Hardiana mengatakan, dari sembilan indikator yang ada, persentase paling tinggi terdapat di bahan bakar untuk memasak (5,8 persen) dan sanitasi (5,2 persen). "Artinya, komponen yang sulit diakses oleh masyarakat adalah dua aspek itu," ucapnya dalam diskusi Potret Indeks Kemiskinan Multidimensi 2019 di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (14/10).
Di Indonesia, Didi menjelaskan, masyarakat banyak menggunakan bahan bakar untuk memasak selain gas. Misalnya saja, semak belukar, kayu hingga arang. Berdasarkan definisi yang ditetapkan UNDP, kebiasaan itu membuat masyarakat tertentu dalam kategori sangat kekurangan atau miskin.
Permasalahan berikutnya adalah sanitasi. Dalam kategori MPI, masyarakat yang tergolong dalam kategori miskin adalah rumah tangga dengan fasilitas sanitasi yang tidak sesuai dengan kategori SDGs. Kondisi ini kerap ditemui di Indonesia, seperti masih banyak masyarakat yang menggunakan fasilitas Mandi, Cuci dan Kakus (MCK) umum.
Di sisi lain, komponen listrik mendapatkan persentase terendah, yakni 1,8 persen. Didi menilai, program pemerintah dalam meningkatkan elektrifikasi sudah efektif dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap listrik, terutama masyarakat menengah ke bawah.
Meski tingkat kemiskinan menurun, Didi menekankan, Indonesia masih memiliki tantangan besar dari segi pemerataan di desa dan kota. Dari data UNDP, terlihat bahwa kemiskinan multidimensi di desa mencapai 11,5 persen, berkali-kali lipat dibandingkan di kota, 3,0 persen.
Provinsi dengan kemiskinan multidimensi paling kecil terjadi di Jakarta, yaitu kurang dari dua persen. Sedangkan, paling parah terjadi pada Indonesia bagian Timur. "Nilainya mencapai 45 persen," tutur Didi.
MPI sendiri disusun untuk melihat kemiskinan dengan cara berbeda dan multidimensi. Didi mengatakan, data MPI bersifat komplementer dari data Badan Pusat Statistik (BPS), yakni Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), yang menggunakan tingkat pendapatan sebagai basis perhitungan tingkat kemiskinan.
Didi berharap, MPI dapat membantu pemerintah ataupun pembuat kebijakan lainnya dalam merancang program yang lebih tepat sasaran dan akurat untuk mengentaskan kemiskinan. "MPI memperlihatkan bagaimana pengurangan angka kemiskinan bisa didapatkan dalam segala bentuk dan dimensi," ujarnya.
Di sisi lain, MPI bisa digunakan untuk percepatan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Sebab, 10 indikator dalam MPI berkaitan erat dengan sejumlah poin tujuan SDGs. Misalnya saja, indikator sanitasi yang berhubungan erat dengan tujuan SDGs ke-11, yakni keberlanjutan kota dan komunitas.
Tidak hanya pemerintah, Didi menambahkan, data MPI juga bisa dimanfaatkan oleh pihak swasta untuk menerapkan poin SDGs dalam tiap programnya. Sebab, MPI menunjukkan permasalahan yang lebih mendetail di setiap daerah. "Sehingga, swasta dapat berkontribusi untuk mengatasi ketimpangan, baik itu bermitra dengan pemerintah ataupun lembaga lain," katanya.