REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Presiden Joko Widodo yang lalu meninggalkan pekerjaan rumah yang besar dalam sektor pertanian, yakni keran impor yang besar. Hampir semua bahan pangan pokok diimpor, seperti beras, jagung, dan bawang.
Selama empat tahun dari 2014, volume impor pertanian meningkat 9 juta ton dari 19,4 juta ton menjadi sebesar 28,6 juta ton pada 2018.
Peningkatan impor justru terus terjadi di sektor tanaman pangan yang memiliki anggaran terbesar untuk mendorong kapasitas produksi. Seperti beras dan jagung, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor seluruh jenis beras sepanjang 2018 tercatat sebesar 2.253.824 ton, lalu impor jagung mencapai 737.228 ton.
"Semua upaya yang dilakukan belum sesuai yang diharapkan. Padahal anggaran untuk sektor tanaman pangan itu terbesar, subsidi pupuk yang digunakan untuk tanaman pangan seperti beras, misalnya," kata Guru Besar Pertanian IPB, Dwi Andreas, kepada Republika.co.id, Jumat (25/10).
Ia memaparkan, dalam 17 tahun terakhir ini peningkatan produksi beras hanya sekitar 1 persen per tahun. Padahal pertumbuhan penduduk 1,4 persen per tahun. Anggaran yang digelontorkan pemerintah belum berhasil menggenjot produksi beras, bahkan lebih rendah daripada periode pemerintahan sebelumnya.
"Laju pertumbuhan tahunan produksi tanaman padi selama 4 tahun terakhir hanya 0,28 persen, di bawah 17 tahun terakhir yang 1 persen," kata Dwi.
Tidak hanya itu, penurunan ekspor juga menjadi catatan penting. Pada periode pemerintahan 2009- 2014, rata-rata ekspor tahunan subsektor pangan yakni sebesar 0,762 juta ton, sementara pada pemerintahan 2014-2019 rata-rata ekspor hanya separuhnya yakni sebesar 0,371 juta ton.
"Data sudah berbicara seperti itu, peningkatan produksi belum tercapai, jadi kebijakan di kabinet yang sekarang harus diubah," kata Dwi.
Ketergantungan impor
Kalangan pengusaha juga menyebutkan ketergantungan impor sebagai pekerjaan rumah yang utama bagi Kementerian Pertanian yang kini dipimpin oleh Syahrul Yasin Limpo. Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim menegaskan agar Kementan dapat menyetop keran impor yang besar.
"Janji Pilpres tahun lalu kan stop impor pangan, tapi impornya malah kelewatan," kata Anton.
Dalam hal ini, Anton menyoroti impor bawang putih yang mencapai 90 persen. Data Kementerian Pertanian mencatat, pada 2017 konsumsi bawang putih mencapai sekitar 482,19 ribu ton, sedangkan produksi hanya 20,46 ribu ton sehingga terjadi defisit 461,74 ribu ton.
Dari data tersebut menunjukkan bahwa terdapat defisit yang sangat besar dalam kebutuhan dan produksi bawang putih. Akibatnya dapat terlihat di tahun berikutnya, total volume impor bawang putih pada 2018 mencapai 583 ribu ton, meningkat 4,16 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar 559,7 ribu ton.
"Bawang putih selama ini 90 persen impor, dari Mentan lama rencana swasembada bawang putih itu harus jalan," tegas Anton.
Selain mengenai bawang, swasembada beras menjadi perhatian utama. Apalagi Mentan yang baru diketahui telah membawa Sulawesi Selatan yang dulu dipimpinnya mencapai swasembada beras. Dia mengingatkan, kesejahteran petani bergantung pada peningkatan produksi serta ditekannya keran impor.
Terlebih lagi, ia mengingatkan agar Mentan yang sekarang tidak hanya fokus pada kepentingan partai. Jangan seperti Menteri Perdagangan sebelumnya, yang dinilai lebih mementingkan kepentingan partainya.
"Jangan sampai petani hanya dijadikan bahan kampanye dan komoditi politik saja. Kalau mereka sejahtera, kan akan mereka dukung (pemerintah). Petani juga pintar-pintar," kata Anton.
Sementara itu Menteri Pertanian periode 2019-2024 Syahrul Yasin Limpo menyatakan dalam 100 hari kerja pertama akan fokus memetakan data pertanian. Lewat adanya pemetaan tersebut, data pertanian nasional menjadi lebih jelas.
"Indonesia ini kelebihannya ada pada pertanian karena menjadi soko guru. Jadi ketahanan pangan harus diwujudkan," ujarnya.
Dia menegaskan hanya Kementerian Pertanian yang nantinya akan memiliki semua data pertanian. Selain itu, Mentan juga akan fokus memberantas mafia di sektor pertanian.