REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sejak 17 Oktober sertifikasi halal sudah sepenuhnya dijalankan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Proses registrasi hingga penerbitan sertifikat halal dilakukan oleh badan tersebut berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Namun demikian, ada tantangan yang dihadapi badan tersebut. Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Mastuki HS menjelaskan, permasalahan yang ada dan rencana strategis yang akan dilakukan badan ini untuk memaksimalkan sertifikasi halal. Penjelasan tersebut disampaikannya kepada wartawan Republika Ratna Ajeng Tejomukti, beberapa waktu lalu. berikut petikannya.
Apa saja upaya BPJPH menjalani sertifikasi halal?
Kami mencoba memulai dengan sosialisasi sertifikasi halal. Masyarakat tampak antusias untuk mengikuti sertifikasi halal. Tentu dengan harapan kehalalan produk yang mereka pasarkan dijamin negara sehingga masyarakat tidak ragu untuk mengonsumsinya. Struktur yang ada di BPJPH sudah berjalan maksimal ya. Masing-masing bagian sudah melaksanakan tugas dan fungsinya untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Saya, misalkan, di bagian registrasi dan sertifikasi halal. Produk yang disertifikasi kami data untuk kemudian diteliti kehalalannya. Lembaga pemeriksa halal akan meneliti. Hasilnya akan ditindak lanjuti oleh akademisi dan ulama untuk dikeluarkan fatwa. Setelah fatwa halal keluar, barulah sertifikat halal dikeluarkan. Jadi, ada tahapan yang harus dilalui.
Bagaimana dengan aturan teknis?
Kita menyiapkan aturan teknis berupa PMA. Memang menjadi keniscayaan karena norma dan klausul dalam UU maupun PP banyak bersifat general berupa diktum umum. Meski ada yang detail pengaturannya, banyak yang perlu penjabaran agar bisa mendukung operasional. Kerja sama internasional, misalnya, di PP sudah detail pengaturannya.
Namun, saat menyangkut keterlibatan MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam penilaian kese suaian (khususnya syariah) maupun mutual recognition and agreementatau dalam bahasa normanya, saling pengakuan dan keberterimaan, rumusan yang terdapat di PP tak mencukupi. Karena itu, perlu elabo rasi dan kejelasan.
Rapat pembahasan dengan MUI menyepakati agar norma di PMA perlu secara clearmenegaskan, positioningMUI dalam skema penetapan kriteria kehalalan dan akreditasi lembaga halal luar negeri (LHLN). Pada intinya sertifikasi halal adalah untuk kemaslahatan bangsa. Produk kita yang terjamin kehalalannya dapat merambah pasar banyak negara. Tentu ini akan berdampak positif pada peningkatan angka ekspor dan keterjangkauan mancanegara.
Apa yang dilakukan BPJPH terkait kerja sama dengan negara lain?
BPJPH menerima banyak proposal kerja sama atau pendirian lembaga halal dari berbagai negara atau halal certification body. Ada yang ingin memperpanjang kerja sama penerimaan sertifikat halal luar negeri (SHLN) yang sudah berjalan selama ini dengan MUI.
Ada inisiatif untuk melakukan MoU baru dengan BPJPH. Banyak perwakilan negara yang datang ke BPJPH mena nya kan bagaimana mekanisme dan prosedur penerimaan sertifikat halal dari negara mereka ke Indonesia.
Mengacu pada norma di PP maupun UU, tak cukup jelas bagai mana mekanisme kerja sama dimaksud dilakukan karena jaminan produk halal akan beralih ke BPJPH sebagai represen tasi negara, pastilah ada pelibatan otoritas kementerian yang bertanggung jawab dalam urusan luar negeri, yakni Kemenlu. Maka, koordinasi dengan Kemenlu mutlak dilakukan.
Pengaturan di PMA tak cukup hanya itu. Ketika melibatkan badan halal, realitasnya ada negara yang tak memiliki lembaga halal di negara asalnya (disingkat:LANA). Kalaupun ada LANA, tak otomatis lembaga halal di suatu negara memiliki kesamaan kriteria penetapan halal seperti berlaku di Indonesia (MUI sebagai lembaga otoritas fatwa penetapan kehalalan produk dan LPH yang bertugas pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk). Kini tambah ada unsur pemerintah yang pelaksanaannya berada di BPJPH.
Kian kompleks kondisinya. Padahal, dalam klausul pengakuan dan keberterimaan ser tifikat halal luar negeri maupun penilai an hasil kesesuaian (akreditasi), ada lembaga penilaian kesesuaian di Indonesia yang diberi mandat tugas itu, dalam hal ini KAN (Komite Akreditasi Nasional).
Jadi, sebelum melakukan MoU, dua negara yang akan melakukan kerja sama di bidang halal perlu memiliki ketentuan yang sama, kriteria penetapan kehalalan produk yang disepakati; status dan kesiapan lembaga halalnya; dan tak kalah penting: dimulai dari kerja sama G to G yang dalam hal ini adalah otoritas Kemenlu.
Itu gambaran konkret betapa merumus kan kerja sama di bidang halal dengan LHLN tak semudah yang dibayangkan, krusial. Banyak pihak yang terlibat dengan otoritas masing-masing. Maka itu, perumusan ke dalam norma PMA membutuhkan waktu dan diskusi berkali-kali sampai pada norma yang disetujui antar-pihak.
Di sini uniknya, PMA halal ini meng atur satu materi hukum dengan atau harus melibatkan banyak kementerian/instansi terkait. Pemandangan seperti itu sudah dimulai saat meng-goal-kan UU mau pun PP JPH beberapa tahun lalu. Saat pem bahasan RPMA, hal yang sama tak kalah rumitnya.