REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik menyatakan industri manufaktur untuk skala besar dan sedang mengalami perlambatan dalam dua tahun terakhir. Hingga kuartal III 2019, pertumbuhan manufaktur hanya 4,35 persen, jauh lebih rendah dibanding kuartal III 2018 sebesar 5,04 persen maupun kuartal III 2017 sebesar 5,46 persen.
Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, mengatakan, pihaknya tetap fokus pada upaya penerapan revolusi industri keempat yang telah disusun dalam peta jalan Making Indonesia 4.0 sejak tahun lalu.
"Indonesia punya pasar yang besar. Ini menjadi potensi untuk memacu produktivitas industri kita. Pemanfaatan teknologi industri 4.0 akan mendorong itu secara lebih efisien," kata Agus dalam keterangan resminya, Jumat (1/11) sore.
Agus mengklaim, peta jalan tersebut jika oleh para pelaku industri manufaktur akan mengoptimalkan potensi penambahan pertumbuhan ekonomi sekitar 1-2 persen dari basis pertumbuhan 5 persen. Selain itu, peningkatan kontribusi industri terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga 25 persen, peningkatan ekspor 10 persen, dan diharapkan menciptakan 17 juta lapangan kerja.
"Kami juga meyakini industri 4.0 akan memunculkan pekerjaan baru yang cukup banyak. Apalagi, saat ini banyak aplikasi yang telah berkembang untuk mendukung proses produksi," ujar Agus.
Lebih lanjut, ia menambahkan pemerintah juga tidak lupa untuk berusaha menyiapkan sumber daya manusia yang unggul terhadap digitalisasi industri. Kemenperin, menurut Agus, sudah memiliki berbagai program strategis untuk menciptakan SDM industri yang kompeten yang sesuai dengan kebutuhan.
Sementara itu, ekonom dari Center of Reform on Economic Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan, perlambatan industri manufaktur yang dilaporkan oleh BPS sesuai dengan data-data ekonomi yang dirilir beberapa waktu terakhir.
Di antaranya, hasil riset dari IHS Markit tentang purchasing manager index (PMI) manufaktur Indonesia yang turun dari angka 49,1 pada September 2019 ke 47,7 pada Oktober. Angka PMI yang berada di bawah 50 menunjukkan bahwa industri manufaktur tengah mengalami kontraksi.
Sementara itu, data terakhir indeks penjualan riil dari Bank Indonesia pada Agustus juga menunjukkan hanya tumbuh 1,1 persen, lebih rendah dari posisi Juli sebesar 2,4 persen.
Terakhir, Yusuf memaparkan bahwa penerimaa pajak dari sektor manufaktur juga mengalami penurunan. Dari data terakhir APBN Kita Kementerian Keuangan bulan September 2019, penerimaan pajak dari industri manufaktur turun 4,8 persen secara tahunan menjadi hanya Rp 215,58 triliun.
"Jadi data-data ini mengkonfirmasi laporan BPS yang menyatakan industri manufaktur melambat," ujar dia.