Ahad 03 Nov 2019 01:38 WIB

Bahtsul Masail PWNU DKI Bahas 2 Isu Hangat

Keduanya adalah Muslim memasuki gereja dan status kewarganegaraan WNI yang ikut ISIS.

Red: Irwan Kelana
Suasana bahtsul masail dan diskusi yang diadakan oleh PWNU DKI Jakarta.
Foto: Dok PWNU DKI
Suasana bahtsul masail dan diskusi yang diadakan oleh PWNU DKI Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama (LBM PWNU) DKI Jakarta menggelar bahtsul masail dan diskusi mengenai dua permasalahan. Kegiatan tersebut diadakan di Jakarta, Ahad (27/10).

Pertama, orang Islam memasuki gereja dan memberikan makanan kepada jamaah gereja. Kedua, mengenai status kewarganegaraan WNI yang bergabung dengan ISIS di Suriah-Irak. Bahtsul masail dilaksankan untuk mendapat jawaban yang didasarkan kepada argumentasi dari kitab kuning karya ulama salaf al-shalih dan mu’tabarah (kredibel). 

Diskusi pertama, bahwa orang Islam memasuki gereja (tempat ibadah non-Muslim) hukumnya boleh. KH Zen Maarif, menegaskan melaksanakan shalat sekalipun diperbolehkan, dengan syarat mendapatkan izin dari penghuni atau pengurus gereja. “Diperbolehkan memasuki gereja dengan seizin penghuni atau pengurus gereja, diqiyaskan kepada seseorang yang hendak memasuki rumah orang lain. Jika pemilik rumah mengizinkannya, maka diperbolehkan memasuki rumahnya. Jika tidak dizinkan, maka tidak boleh/haram memasukinya,” ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Kamis (31/10). 

KH Faruq Hamdi  menyatakan bahwa pendapat  memasuki gereja adalah haram, apabila terdapat patung (tashwir, shurah atau tamatshil) di dalamnya. “Pendapat ini lemah dan terbantahkan, karena ada bukti sejarah, bahwa Rasulullah SAW pernah masuk dan shalat di dalam Ka’bah pada masa Jahiliyah, padahal di dalamnya terdapat patung,” tuturnya.

Ia menambahkan, sebagian sahabat pun pernah memasuki gereja yang di dalamnya terdapat patung. Abu Musa, salah seorang sahabat Nabi, melaksanakan shalat di gereja Nahya Damaskus. Shalat di gereja, dengan demikian sah, dengan syarat mendapatkan izin dan suci dari najis. Bahkan, Syekh Khathib al-Sarbini dalam kitab Mughni al-Muhtaj (jilid 6, hal. 78), menyatakan bahwa diperbolehkan umat Islam membantu merenovasi gereja yang rapuh atau roboh.

Lalu bagaimana dengan memberikan makanan, seperti pemberian tumpeng dalam adegan film The Santri, kepada non-Muslim?  Kiyai Ahmad Hilmi, menegaskan bahwa halal bersedekah makanan kepada non-Muslim, orang fasiq, bahkan sekalipun kepada kafir al-harbiy (non-Muslim yang memerangi umat Islam), dan mendapatkan pahala kelak di akhirat. Hal ini diperkuat dengan fakta sejarah bahwa Nabi Muhammad SAW memberi makanan dan menyuapi kepada seorang Yahudi buta pembenci Nabi Muhammad SAW dengan umpatan, bully, dan mengeluarkan kata-kata kotor. Seorang Yahudi itu tidak tahu kalau yang menyuapi makanan setiap hari itu adalah orang yang paling dibencinya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Dia baru diberi tahu oleh Umar bin al-Khtahab, setelah Nabi Muhammad SAW wafat.   

Banser menjaga gereja juga dibahas dalam bahtsul masail. Para kiai menyatakan bahwa, negara wajib menjaga keamanan bagi seluruh rakyat baik nyawa, properti, dan tempat ibadah. Jika ada tempat ibadah, seperti: gereja, pura dan lainnya, terancam dari tindakan terorisme, maka negara wajib menjaganya. Jika negara kekurangan tenaga atau personil, atau tidak hadir, maka rakyat (sebagaimana Banser) boleh bahkan wajib berpartisipasi menjaganya dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar untuk mengantisipasi tindakan dzhalim kepada non-Muslim. Haram berbuat zalim kepada siapapun, termasuk kepada non-Muslim. Nabi mengatakan, “Barang siapa yang menyakiti non-Muslim yang berdamai (dhimmy), maka dia telah meyakitiku”. 

Diskusi kedua, yaitu status kewarganegaraan WNI (Warga Negara Indonesia) yang bergabung dengan ISIS (Islamic State of Irak and Suriah) di Irak-Suriah. Pendukung ISIS di Irak-Suriah datang dan bergabung dari berbagai Negara, tak terkecuali warga negara yang berasal dari Indonesia (WNI). 

Menurut KH Mukti Ali Qusyairi,  ada empat golongan WNI yang ingin atau sudah berbagung dengan ISIS. Pertama, golongan yang sudah bergabung dan ikut berperang bersama ISIS di Irak-Suriah, seperti Bahrumsyah, Bahrun Na’im, dan kawan-kawannya baik dari kalangan perempuan maupun anak-anak.

Kedua, kata Mukti Ali, berhasil bergabung dengan ISIS, akan tetapi menyesal lantaran merasa tertipu oleh propaganda ISIS.

Ketiga, golongan yang tidak berhasil menembus wilayah perbatasan Turki, Irak, Suriah. Mereka hidup terlunta-lunta di wilayah perbatasan, dan tidak berhasil bergabung dengan ISIS. “Keempat, golongan yang ingin bergabung dengan ISIS dan baru sampai di bandara dikembalikan lagi ke Indonesia,” ujarnya.

Para kiai merumuskan bahwa, semua golongan ISIS dan golongan yang anti NKRI sudah tergolong sesat dan ahli maksiat, sebab; Pertama, mereka memberikan loyalitasnya (wala) kepada ISIS dan berlepas diri (bara) dengan NKRI.

Kedua, pengikut atau pun pendukung ISIS, adalah orang yang tidak taat, tidak mematuhi, dan bahkan mengingkari ideologi dan hukum Negara. Padahal, taat kepada Undang-Undang, hukum, dan ideologi Negara adalah wajib ditaati bagi seluruh rakyat (QS. An-Nisa: 59).

Menurut KH Roland Gunawan status kewarganegaraan dari keempat golongan menjadi dua bagian. Pertama, WNI yang bergabung dengan ISIS di Suriah-Irak, mereka telah melakukan tindak kejahatan terorisme dan berperang untuk ISIS di Negara Suriah-Irak, dan orang yang sudah berpartisipasi atau ikut bergabung dengan cara sengaja masuk ke Suriah dan Irak, dengan menghilangkan atau membuang dokumen negara baik itu paspor negara asal maupun visa, maka harus dihukum di negara di mana mereka melakukan kejahatan sesuai dengan hukum yang berlaku di negara tersebut (Suriah-Irak). Sebab, dalam perspektif fikih, bahwa hukuman terhadap seseorang, terkait dengan kesalahan yang dilakukan kepada siapa dan di mana (locus delicti). 

Kedua, bagi orang-orang yang tidak melakukan kejahatan perang atau tindakan terorisme di negara lain, diperbolehkan untuk kembali ke Indonesia dengan syarat melakukan ikrar setia kepada NKRI dan mau melaksanakan undang-undang dan hukum yang berlaku di Indonesia serta menandatangani surat pernyataan ikrar setia kepada NKRI dan taat kepada hukum yang berlaku di Indonesia, serta bersedia mengikuti program deradikalisasi, rehabilitasi, bela negara dan komitmen dalam membangun Indonesia di berbagai bidang.

“Apabila tidak mau menandatangan ikrar dan lainnya tersebut, maka pemerintah Indonesia berhak menolak mereka kembali ke Indonesia dan pemerintah Indonesia berhak mencabut kewarganegaraan sebagai warganegara Indonesia. Ini pun berlaku kepada semua orang yang ada di Indonesia yang telah melepaskan diri (bara) kepada Indonesia dan wala (loyal) kepada selain Indonesia,” ujarnya. 

Terakhir Kiai Saepullah menegaskan, bahwa ISIS merupakan gerakan yang menyebabkan terjadinya konflik bersenjata dan kejahatan kemanusiaan di Suriah dan di Irak, yang disebabkan oleh campur tangan negara-negara di luar Suriah dan Irak. “Dengan demikian, negara-negara yang terlibat berkewajiban untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. PBB sebagai lembaga negara dunia pun berkewajiban ikut campur untuk menyelesaikan persoalan warga negara yang ikut dan bergabung dengan ISIS,” kata Kiai Saepullah.

Peserta yang hadir dalam bahtsul masail di antaranya, yaitu KH Dr Mulawarman Hannase,  KH Taufik Damas, KH Mukti Ali Qusyairi, KH Zen Ma’arif, Kiai Saepullah, KH Roland Gunawan, Kiyai Ahmad Hilmi, Kiyai Faruq Hamdi, Kiyai Kam Taufiq, Kiyai Ade Pardiansyah, Kiyai Mohammad Khoiron, Kiyai Azaim, Ustaz Diki, Ustaz Fakhru Razi, Pradhana Adimukti dan Ustaz Ahmad Fairuzabadi.

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement