Senin 04 Nov 2019 16:45 WIB

Penerimaan Pajak Pertambangan Kontraksi 20,6 Persen

Sampai akhir Oktober 2019, penerimaan pajak pertambangan negatif 20,6 persen

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Alat-alat berat dioperasikan di pertambangan Bukit Asam yang merupakan salah satu area tambang terbuka (open-pit mining) batu bara terbesar PT Bukit Asam Tbk di Tanjung Enim, Lawang Kidul, Muara Enim, Sumatra Selatan, Sabtu (5/11).
Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Alat-alat berat dioperasikan di pertambangan Bukit Asam yang merupakan salah satu area tambang terbuka (open-pit mining) batu bara terbesar PT Bukit Asam Tbk di Tanjung Enim, Lawang Kidul, Muara Enim, Sumatra Selatan, Sabtu (5/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat kontraksi penerimaan pajak pada sektor pertambangan. Tercatat, sampai akhir Oktober 2019, nilainya mengalami pertumbuhan negatif 20,6 persen dibandingkan tahun lalu atau year on year (yoy) dengan nilai Rp 43,21 triliun.

Kondisi tersebut kontras dibandingkan tahun lalu, di mana penerimaan pajak pada sektor pertambangan dapat tumbuh 69,9 persen (yoy). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kontraksi pada penerimaan pajak dari sektor pertambangan disebabkan adanya tekanan besar terhadap perusahaan.

Baca Juga

"Ketika penerimaan mereka menurun, pembayaran pajak mereka juga akan menurun," katanya dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI di Gedung DPR, Jakarta, Senin (4/11).

Sri menjelaskan, tekanan pada dunia usaha tidak terlepas dari perekonomian dunia yang menghadapi beban berat sepanjang 2019. Khususnya akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina yang menciptakan ketidakpastian global. Bahkan, langkah terakhir AS untuk menerapkan tarif pada Eropa semakin meningkatkan tensi dagang global.

Dampaknya, Sri menambahkan, pertumbuhan ekonomi global terus menghadapi pemangkasan proyeksi hingga ke titik 3,0 persen. Pertumbuhan volume perdagangan dunia pun diperkirakan hanya mencapai 1,1 persen sampai akhir tahun.

"Ini pertumbuhan terlemah sejak sebelum krisis 10 tahun lalu," ujarnya.

Dengan kondisi yang melemah, Sri menuturkan, harga komoditas yang biasa sejalan dengan pertumbuhan ekonomi juga mengalami pelemahan. Penurunan tajam terjadi pada harga batubara yang menyebabkan penurunan nilai ekspor dari sektor pertambangan.

Di sisi lain, Sri menuturkan, tingkat permintaan dari negara lain yang selama ini bertindak sebagai pasar ikut melemah. Sebab, perlambatan ekonomi dan perdagangan global ikut melemahkan ekonomi mereka.

“Maka, kita mengalami dua pukulan,” tutur mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut. 

Pelemahan tidak hanya dirasakan sektor pertambangan. Dalam catatan Kemenkeu,  penerimaan pajak dari industri manufaktur juga mengalami pertumbuhan negatif hingga minus 3,2 persen menjadi Rp 245,61 triliun, kontras dibandingkan tahun lalu yang dapat tumbuh sampai 11,7 persen. 

Di tengah perlambatan penerimaan pajak dari sejumlah sektor, masih ada beberapa sektor yang tumbuh positif. Sebut saja penerimaan pajak dari sektor perdagangan yang tumbuh 2,8 persen. Meski positif, pertumbuhan tersebut juga tercatat melambat dibandingkan tahun lalu yakni 25,8 persen.

Catatan lebih positif dialami sektor transportasi dan pergudangan. Penerimaan pajak pada sektor ini tumbuh 18,9 persen, membaik dibandingkan tahun lalu yakni 12,6 persen. 

"Satu-satunya sektor yang tumbuh lebih tinggi dan kuat adalah transportasi dan pergudangan," kata Sri.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement