Rabu 06 Nov 2019 12:39 WIB

Ini Dalil Bolehnya Ngalap Berkah ke Orang-Orang Saleh

Ngalal berkah atau tabarruk pernah dilakukan para sahabat.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Nashih Nashrullah
Kawasan Raudhah dan koridor di depan Makam Rasulullah SAW kian padat menyusul makin banyaknya jamaah haji yang tiba di Madinah, Selasa (24/7). Para jamaah berebut mengunjungi tempat yang disebut penuh berkah tersebut.
Foto: Republika/Fitriyan Zamzami
Kawasan Raudhah dan koridor di depan Makam Rasulullah SAW kian padat menyusul makin banyaknya jamaah haji yang tiba di Madinah, Selasa (24/7). Para jamaah berebut mengunjungi tempat yang disebut penuh berkah tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –  Mencari keberkahan dengan cara berdoa baik kepada orang yang masih hidup atau sudah meninggal masih menjadi sesuatu yang dipersoalkan. Terutama, soal tabarruk, atau ngalap berkah, kepada orang-orang yang shaleh dan tempat yang disucikan oleh kaum Muslimin.  

Lantas, apakah tabarruk bidah? Apakah tabarruk ini pernah dicontohkan kaum Muslimin sebelumnya di masa awal Islam? 

Baca Juga

Tabarruk sendiri berasal dari kata barakah. Seperti dikutip dari buku berjudul "Tabarruk: Ceraplah Berkah (energi positif) Dari Nabi & Orang Saleh" oleh Prof  Shobah Ali al-bayati, kata berkah bermakna bertambah. 

Dengan demikian, tabarruk berarti mencari berkah, yakni mencari kelebihan dan kebahagiaan. Tabarruk kepada sesuatu berarti mencari atau menyerap berkah dengan media sesuatu itu. 

Namun, dijelaskan bahwa tabarruk itu tentunya bertujuan untuk mencapai keberkahan yang telah disematkan Allah kepada sesuatu benda atau seseorang sebagai wujud keistimewaannya, bukan yang lain. 

Kata berkah dijumpai dalam ayat-ayat Alquran untuk menunjukkan diistimewakannya seseorang, tempat, atau waktu tertentu dengan suatu keberkahan. 

Misalnya, dalam ayat tentang Nabi Isa AS, Nabi Nuh AS dan pengikutnya, Nabi Ibrahim dan putranya. Alquran sendiri merupakan kitab yang penuh keberkahan.

Sejatinya, berdoa atau memohon sesuatu hanyalah ditujukan kepada Allah. Namun, ada beberapa contoh yang menunjukkan bahwa diperbolehkannya tabarruk

Hal in seperti diperlihatkan di masa Rasulullah SAW. Semasa hidup Rasulullah, ada sahabat yang bertabarruk kepada barang-barang beliau. Sementara Nabi SAW membiarkannya dan tidak melarangnya. Hal itu dilakukan sahabat sebagai besarnya kecintaan dan kesetiaan mereka kepada Nabi SAW. 

Imam Muslim dalam shahihnya meriwayatkan, bahwa anak-anak yang baru lahir, kerap dibawakan kepada Rasulullah agar diberkati serta didoakan oleh Nabi SAW. 

Praktik tabarruk sendiri ada berbagai macam. Misalnya, tabarruk dengan basmalah dan hamdalah, tabarruk dengan air Zamzam.

Dalam buku berjudul "Halal-Haram Tabarruk" oleh Hanif Luthfi, Lc, MA, ada beberapa orang yang benar-benar saleh yang bisa diambil berkahnya. Ssalah satu tabarruk kepada orang saleh adalah meminta doa darinya. 

Namun, doa tersebut tetap ditujukan untuk meminta kepada Allah, hanya saja do orang saleh diharapkan lebih mustajab dan mengharapkan keberkahan dari doa itu. 

Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu' mengatakan, "Didoakan minta hujan dengan perantara  orang-orang pilihan dari kerabat Rasulullah SAW karena Umar telah berdoa meminta hujan dengan perantara Abbas. 

Umar berkata: "Ya Allah, sesungguhnya apabila kami dalam keadaan musim kemarau, kami tawasul dengan Nabi SAW kami, maka Engkau memberikan hujan untuk kami. Sekarang kami tawasul dengan paman Nabi kami, maka berikanlah hujan untuk kami." (HR. BUkhari) 

Selain tabarruk dengan meminta didoakan orang saleh, Hanif menuliskan diperbolehkannya tabarruk dengan menziarahi kubur ulama atau orang saleh. Ziarah kubur sendiri tidak dilarang Islam, jika tujuan berziarah adalah hal baik. Misalnya, untuk mengingat mati sehingga meningkatkan ketakwaan dan mendoakan ahli kubur. 

Menurut Hanif, bepergian kepada suatu tempat bukan karena meyakini keutamaan tempatnya, tetapi orang yang menempati tempat tersebut hukumnya boleh. Karena itu, ziarah kubur kepada ulama diperbolehkan. 

Bahkan, Nabi SAW disebutkan juga berziarah ke makam ibunya. Meski sempat melarang karena dikhawatirkan melakukan hal-hal kemusyrikan, Rasulullah SAW kemudian membolehkan ziarah kubur dengan tujuan untuk mengingatkan kepada kematian. Hal itu setelah para sahabat dinilai sudah memiliki kemantapan keimanan saat itu.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement