Kamis 07 Nov 2019 06:14 WIB

ADB: 22 Juta Penduduk RI Kelaparan

ADB: 22 Juta Penduduk RI Kelaparan

Rep: DEDY DARMAWAN NASUTION / Red: Muhammad Subarkah
Petani mengangkut padi yang dipanen dari area persawahan Desa Meureuboe, Kecamatan Meureuboe, Aceh Barat, Aceh, Rabu (21/8/2019).
Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Petani mengangkut padi yang dipanen dari area persawahan Desa Meureuboe, Kecamatan Meureuboe, Aceh Barat, Aceh, Rabu (21/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil riset dari Asian Development Bank (ADB) menyatakan, sektor pertanian di Indonesia masih sangat membutuhkan tambahan investasi dari pemerintah. Perlu ada peningkatan infrastruktur serta riset pertanian agar kebutuhan pangan di dalam negeri bisa dipenuhi dan angka kelaparan berkurang.

Menurut ADB, sektor pertanian dan ekonomi Indonesia memang telah membuat kemajuan selama beberapa dekade terakhir. Namun, angka kelaparan kronis di Indonesia masih mencapai 22 juta orang pada kurun waktu 2016-2018. Investasi di bidang pertanian dinilai mendesak untuk digenjot demi mengurangi angka kelaparan.

"Menghapus angka kelaparan di Indonesia memerlukan peningkatan investasi di sektor pertanian dan perdesaan untuk memacu produktivitas, modernisasi sistem pangan, dan meningkatkan efisiensi pasar pangan," kata Ketua Tim Peneliti Mark W Rosegrant dalam laporan ADB bertajuk "Peningkatan Investasi untuk Ketahanan Pangan" yang diterima Republika, Rabu (6/11).

ADB menilai Indonesia juga perlu melakukan perubahan regulasi dan perbaikan dalam penyuluhan pertanian untuk meningkatkan kinerja perekonomian. Dampak akhir yang diharapkan dari membaiknya sektor pertanian adalah meningkatkan ketahanan pangan nasional dan menekan angka kelaparan.

Officer ADB khusus Spesialisasi Sumber Daya Alam dan Pertanian Abul Basher menjelaskan, selain investasi, pusat penelitian dan pengembangan pertanian, infrastruktur irigasi, dan infrastruktur perdesaan harus ditingkatkan. Ini penting karena kontribusi sektor pertanian terhadap total produk domestik bruto (PDB) disebut mengalami penurunan dari 30 persen terhadap PDB pada 1975 menjadi 13,1 persen pada tahun 2017. Di sisi lain, situasi tenaga kerja pertanian juga menurun dari 62 persen terhadap total tenaga kerja Indonesia pada 1975 menjadi hanya 29,7 persen tahun 2017.

Sektor pertanian diakui dapat menghasilkan banyak manfaat tambahan ekonomi. Namun, yang paling mendasar ialah memastikan ketahanan pangan untuk memberantas kelaparan. Sebab, meskipun tren produksi meningkat diikuti dengan ketersediaan pangan dan kenaikan pendapatan rumah tangga, akses terhadap makanan di Indonesia tidak merata. Hal itu menyebabkan ada kerawanan pangan yang masih menjadi masalah.

"Untuk menghapus kelaparan di Indonesia, kita harus menargetkan investasi pada bidang-bidang yang mampu berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat," kata Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Negeri Lampung Bustanul Arifin.

Ia mengatakan, kebijakan lain yang perlu dilakukan adalah merealokasikan subsidi pupuk untuk investasi pertanian. Lembaga riset pertanian harus diarahkan pada penemuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian.

Menurut Bustanul, selain dapat menghapus kelaparan, beberapa skenario dari peningkatan investasi pertanian dapat meningkatkan kinerja perekonomian. Kata dia, peningkatan investasi pertanian dapat menghasilkan tambahan manfaat ekonomi sebesar Rp 1.834 triliun pada 2045.

Kementerian Pertanian (Kementan) sebelumnya mengakui, ada sebanyak 88 daerah kota dan kabupaten mengalami rentan rawan ketersediaan pangan. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan, pemerintah akan berupaya keras agar daerah-daerah itu tak berubah menjadi daerah berstatus rawan pangan.

"Kita akan coba benahi 88 daerah ini. Saya berharap seluruh kementerian lembaga, pemerintah daerah untuk menyatu dan berkonsentrasi," kata Syahrul, beberapa waktu lalu.

Syahrul mengatakan, Kementan tidak bisa mengatasi masalah kerawanan pangan di setiap daerah sendirian. Karena itu, pihaknya perlu melakukan kerja sama dan bersinergi dengan kementerian lembaga lain. Oleh karena itu, Kementan telah melakukan penandatanganan kerja sama dengan enam kementerian lembaga untuk sinergi penanganan daerah rentan rawan pangan.

Enam kementerian dan lembaga itu adalah Kementerian Sosial, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Dalam Negeri, dan Lemhanas.

Syahrul berharap setiap pejabat eselon I di masing-masing kementerian dan lembaga saling berkoordinasi untuk pengetasan daeran rentan tersebut. Dia mengatakan, tujuan akhir dari upaya pengentasan kemiskinan agar masyarakat dapat lebih hidup mandiri.

Kriteria dalam daerah yang rentan rawan pangan cukup banyak. Tidak hanya soal persoalan pangan, tapi juga mencakup akses kesehatan dan pendidikan. Namun, Syahrul mengatakan, pihaknya telah memiliki pemetaan daerah rentan rawan pangan beserta klasifikasi kerentanan yang ada di setiap daerah.

Dari segi ketersediaan pangan, ia menuturkan, tidak seluruhnya berkaitan dengan pasokan beras sebagai bahan pokok. Sebab, masing-masing daerah memiliki karakteristik pangan pokok yang berbeda. Kebanyakan masalah yang dihadapi setiap daerah sehingga rentan rawan pangan akibat akses infrastruktur karena lokasi yang terisolasi.

"Tidak hanya beras, tidak hanya makanan juga. Pemetaannya sudah ada. Kategori-kategori itu sudah ada di kita. Kita sama-sama turun. Ini bukan pekerjaan baru, sudah lama tapi kita benahi sekarang," tuturnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement