Selasa 12 Nov 2019 03:30 WIB

Salam untuk Agama Lain? Begini Penjelasan Pakar Tafsir

Salam untuk agama lain dalam konteks kebangsaan tak sesat.

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Nashih Nashrullah
Kepala LPMQ Muchlis M Hanafie
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Kepala LPMQ Muchlis M Hanafie

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— MUI Jatim telah menerbitkan imbauan agar umat Islam dan para pemangku kebijakan atau pejabat untuk menghindari pengucapan salam dari agama lain saat membuka acara resmi. 

Imbauan tersebut termaktub dalam surat edaran bernomor 110/MUI/JTM/2019 yang ditandatangani Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori dan Sekretaris Umum Ainul Yaqin.

Baca Juga

“Sebagai sebuah imbauan sah-sah saja. Apalagi dari institusi MUI yang sangat dihormati. Tapi di ranah akademik kami bisa diskusi. Yang pasti, ini soal khilafiyah,” kata Direktur Pusat Studi Alquran, Muchlis M Hanafi, Senin (11/11).

Dia mengingatkan agar tidak perlu cepat-cepat memvonis bidah, syubhat, dan sesat yang mengundang murka Allah SWT. Apalagi sampai menyatakan pejabat yang berucap adalah “pemimpin jahil yang sesat dan menyesatkan.”

Penyabet gelar doktoral ilmu tafsir Universitas al-Azhar Mesir ini menukilkan pernyataan dari kitab tafsir al-Qurthubi Dan tafsir al-Thabari. Dalam kedua kitab tersebut dijelaskan ‘bersalam’ untuk kafir non-harby (tidak memerangi) tidak mengapa. Itu bagian dari ‘berlaku baik dan adil’ yang tidak dilarang sesuai QS al-Muntahanah: 8. 

Ustaz Muchlis menukilkan pula kisah Nabi Ibrahim yang bersalam bersalam kepada bapaknya yang kafir, “Salaamun ‘alayka” (QS. Maryam: 47). 

Nabi Ibrahim hanya ditegur ketika ‘istighfar’, memintakan ampunan untuk bapaknya (QS at-Taubah: 113-114). Sebab menurut Muchlis, memintakan ampunan untuk mereka memang tidak diperbolehkan. Hal ini sebagaimana disebutkan Sufyan bin Uyaynah, ulama tabiin kenamaan. Imam al-Qurthubi pun sepakat. 

Hanya saja, Muchlis menggarisbawahi, kalau ada maslahat mendesak (maslahah raajihah) karena hubungan pertemanan, atau bertetangga, atau sesama warga negara dan warga bangsa yang berjanji hidup damai bersama, dia tak mempersoalkan dan mempersilakan  bersalam kepada sesama. 

Menurut dia, hadis yang larang memulai bersalam, konteksnya dalam situasi perang atau bermusuhan. Dia pun menyatakan, apakah bersalam kepada kepada kafir itu hal baru? Dia menegaskan tidak dan bukan bidah.

Dia menyebutkan ulama salaf melakukannya. Sahabat Nabi, Ibnu Mas’ud biasa melakukan. Sahabat lain, Abu Umamah, siapa saja disalami olehnya, baik Muslim atau kafir. “Bukankah agama mengajarkan kami untuk menebar salam kedamaian?,” kata Muchlis menukilkan pernyataan Abu Umamah.

Muchlis mengajak segenap umat untuk saling menghormati dan tidak gampang memvonis bidah, syubhat, dan sesat. “Bagi saya, daripada menebar kebencian lebih baik tebar salam kedamaian,” ujar dia.

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement