REPUBLIKA.CO.ID, "Ulama itu pelita bumi, pengganti para nabi, dan ahli warisku serta ahli waris para Nabi." (HR Ibnu 'Ady dari 'Aly).
Ulama adalah orang-orang yang luas dan dalam pengetahuan agamanya, yang dengan keluasan dan kedalaman ilmunya mereka mampu mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai bidangnya hingga lahir berbagai disiplin ilmu, baik ilmu keagamaan maupun kealaman, dan disiplin-disiplin ilmu itu menjadi rujukan umat dari zaman ke zaman.
Seorang ulama juga orang yang mampu mengamalkan ilmunya sehingga keluar dari dirinya sikap dan ucapan (fatwa) yang menyejukkan dan memantapkan. Tepatlah jika hadis di atas menyatakan ulama itu pelita bumi yang senantiasa menerangi kebenaran kepada umat manusia.
Dulu ketika para nabi masih hidup, para nabilah yang menjadi pelita bumi. Kini para nabi sudah tak ada dan tugas kenabian berpindah kepada ulama. Di tangan ulamalah terang-gelapnya zaman, baik buruknya umat di bumi. Jika ulama itu makin baik dan berperan, akan semakin baiklah umat. Jika ulama itu makin buruk, akan makin buruklah umat.
Imam Sufyan ats-Tsauri pernah berkata, "Perbuatan jahat merupakan penyakit, sedangkan ulama merupakan obat. Maka, apabila ulama rusak (kena penyakit), siapakah yang akan menyembuhkan penyakit itu?"
Dalam hadis riwayat Abu Nu'aim dijelaskan setidak-tidaknya ada lima sifat ulama, yaitu yang pertama, menghilangkan keraguan, menanamkan keyakinan. Kedua, menghilangkan riya, menanamkan keikhlasan. Ketiga, menghilangkan kegemaran dunia, menanamkan zuhud.
Keempat, menghilangkan sifat sombong, menanamkan sifat tawadhu (rendah hati). Kelima, menghilangkan sifat permusuhan, menanamkan perdamaian.
Jika sikap dan fatwa ulama tak menyejukkan, bahkan meresahkan dan membangkitkan rasa permusuhan di kalangan umat, tentu hal itu membuat umat makin bingung.
Terlebih lagi jika para ulamanya saling berseteru, menghujat, dan menghalalkan darah saudaranya, keresahan dan perseteruan di kalangan umat bisa lebih dahsyat lagi.