REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Kepala Garda Revolusi Iran mengancam Amerika Serikat dan sekutunya dalam pidato pawai pro-pemerintah. Pawai itu dihadiri puluhan ribu orang untuk mengecam unjuk rasa yang terjadi pekan lalu karena kenaikan harga bensin.
Jenderal Hossein Salami turut menuduh AS, Inggris, Israel, dan Arab Saudi sebagai pihak yang mendalangi unjuk rasa itu. Pernyataan itu juga kerap dilontarkan pejabat-pejabat pemerintah Iran. Ia mengatakan kenaikan tarif bensin 'hanya dalih belaka' untuk menyerang Iran.
"Jika Anda melewati garis batas kami, kami akan menghancurkan Anda. Kami tidak akan meninggalkan satu langkah pun tanpa memberikan jawaban. Musuh tidak akan aman di mana-mana, kesabaran kami ada batasnya," kata Salami dilansir AP, Selasa (26/11).
Organisasi kemanusiaan Amnesty International mengatakan setidaknya 143 orang tewas dalam unjuk rasa yang meletus pada 15 November lalu. Jumlah korban tewas lebih banyak dibandingkan laporan sebelumnya. Amnesty International mengatakan 'ada bukti yang jelas' pasukan keamanan Iran menggunakan peluru tajam dalam menghadapi pengunjuk rasa tak bersenjata.
"Naiknya jumlah korban tewas memperingatkan adanya indikasi bagaimana cerobohnya perlakuan terhadap pengunjuk rasa tak bersenjata yang dilakukan pihak berwenang Iran dan mengungkapkan mereka menerapkan serangan yang membahayakan nyawa," kata direktur advokasi di Timur Tengah dan Afrika Utara Amnesty International Philip Luther.
Iran tidak merilis jumlah korban dalam unjuk rasa itu. Mereka juga memutus akses internet selama beberapa hari. Kondisi ini membuat sulit untuk mengetahui kerusakan dan jumlah korban dalam unjuk rasa tersebut.
Stasiun televisi milik negara, sebut pawai pro-pemerintah itu, sebagai 'Bangkitnya Rakyat Teheran Melawan perusuh'. Banyak orang yang mengikuti pawai tersebut membawa spanduk anti-AS.