REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Plt Kepala Biro Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Agama (Kemenag), Syafrizal memberi penjelasan soal keharusan majelis taklim melakukan pendaftaran ke Kemenag di daerahnya. Hal itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) 29/2019 tentang Majelis Taklim.
Syafrizal menjelaskan, ini bermula ketika Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Kemenag berdiskusi dalam proses penyusunan PMA itu. Dalam diskusi tersebut, dibahas soal apakah pendaftaran majelis taklim ini bersifat boleh, harus, atau wajib.
"Pasal 6 kan itu, waktu dialog, diskusi, di antara Kemenkumham dan (Ditjen) Bimas Islam, ada boleh, harus dan wajib. Di bahasa hukum itu, kalau wajib, implikasinya kalau tak lakukan, dapat sanksi. Kalau disebut boleh di situ, enggak ada implikasi apa-apa, terus buat apa diatur-atur ada SKT (Surat Keterangan Terdaftar) segala," jelas dia kepada Republika.co.id, Senin (2/12).
Kemudian, lanjut Syafrizal, disepakati bahwa pendaftaran bersifat harus. "Teman-teman di situ, pakar-pakar itu, mencari kata tengah, yaitu harus, yang ditujukan untuk pemenuhan administrasi. Kata harus itu kan di tengah-tengah. SKT ini syarat-syaratnya punya alamat yang jelas, anggotanya minimal berapa orang, kegiatannya apa, dan punya bukti tempat tinggal (domisili)," paparnya.
Karena sifatnya harus, Syafrizal mengungkapkan tidak ada sanksi bagi majelis taklim yang tidak mendaftar ke Kemenag. "Hanya saja, secara administrasi tidak memenuhi syarat. Kalau tidak memenuhi, ya tidak dapat SKT. Karena syarat administrasinya tidak memenuhi, maka urusan ke Kemenag, Pemda, jika ada bantuan, tentu tidak akan dapat. Jadi harus memenuhi syarat dulu," tutur dia.
Syafrizal mengatakan, Kemenag pun tidak mempersoalkan majelis taklim yang memang sejak awal enggan melakukan pendaftaran. "Enggak apa-apa, ya konsekuensinya tentu dia akan kesulitan apabila ngaju-ngajuin kerja sama dengan pemerintah," ucapnya.