REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan kecewa atas putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang meringankan hukuman Idrus Marham. Terdakwa suap proyek PLTU Riau-1 itu, tadinya dihukum 5 tahun, kini menjadi tinggal 2 tahun penjara.
"Kalau dilihat dibandingkan putusan 2 tahun dengan putusan di tingkat banding apalagi dengan tuntutan KPK tentu wajar bila kami sampaikan KPK cukup kecewa dengan turun secara signifikannya putusan di tingkat kasasi ini," ucap Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa (3/12).
Namun, kata dia, KPK tetap menghormati putusan kasasi MA terhadap mantan Menteri Sosial tersebut. "Tetapi bagaimana pun juga secara kelembagaan kami harus menghormati Mahkamah Agung terutama Majelis Hakim yang mengambil putusan itu," ujar Febri.
Lebih lanjut, KPK mengharapkan nantinya ada kesamaan visi antar semua institusi jika berbicara bagaimana memaksimalkan efek jera terhadap pelaku korupsi. "Kalau seorang pelaku korupsi sudah terbukti bersalah tentu harapannya bisa dijatuhkan hukuman semaksimal mungkin sesuai perbuatannya. Ini yang harapannya bisa menjadi kontemplasi ke depan agar kerja yang dilakulan penyidik, penuntut umum, hakim di tingkat pertama di tingkat kedua sampai di tingkat kasasi itu berada dalam visi yang sama soal pemberantasan korupsi," tuturnya.
Untuk langkah ke depan pasca putusan kasasi itu, ia menyatakan KPK akan mempelajarinya terlebih dahulu. Namun, kata dia, KPK belum menerima salinan putusan kasasi itu.
"Saya cek ke penuntut umum kalau salinan putusannya belum kami terima. Kalau sudah kasasi sudah berkekuatan hukum tetap nanti kami pelajari terlebih dahulu tentu saja putusannya yang pasti kami menghormati dan akan melaksanakan begitu kami terima putusannya," ungkap dia.
Sebelumnya, Majelis Kasasi MA telah memotong hukuman Idrus menjadi tinggal 2 tahun penjara dari tadinya 5 tahun penjara. "MA menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun denda Rp 50 juta subsider 3 bulan kurungan," kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (3/12).
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 23 April 2019 lalu menjatuhkan vonis 3 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider dua bulan kepada Idrus Marham karena terbukti menerima suap bersama-sama dengan anggota Komisi VII DPR dari fraksi Partai Golkar non-aktif Eni Maulani Saragih.
Selanjutnya Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis Idrus Marham menjadi 5 tahun penjara ditambah denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan pada 9 Juli 2019. Menurut majelis hakim Pengadilan Tinggi, Idrus Marham dan mantan anggota DPR dari fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih terbukti menerima Rp 4,75 miliar dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo dalam perkara suap terkait pengurusan proyek "Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd dan China Huadian Engineering Company (CHEC), Ltd.
"Menurut majelis hakim kasasi, kepada terdakwa lebih tepat diterapkan dakwaan melanggar pasal 11 UU Tipikor yaitu menggunakan pengaruh kekuasaannya sebagai Plt Ketua Umum Golkar, karena pada mulanya saksi Eni Maulani Saragih melaporkan perkembangan proyek PLTU MT Riau-1 tidak lagi kepada saksi Setya Novanto lantaran terjerat kasus hukum e-KTP, tetapi melaporkannya kepada terdakwa Idrus Marham. Sebab pada saat itu terdakwa menjabat sebagai Plt Ketua Umum Golkar, dengan tujuan agar Eni Maulani Saragih tetap mendapat perhatian dari Johanes Budisutrisno Kotjo," tambah Andi.