REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti LIPI Prof Siti Zuhro menilai ada keseriusan pemerintah untuk menegakkan hukum terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Keseriusan itu terlihat dengan dibentuknya lagi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
"Setiap pemilu, setiap kampanye kan kerap muncul dan dimainkan isu bahwa pemerintah tidak concern soal pelanggaran HAM, baik masa lalu maupun masa kini," kata Siti Zuhro usai Focus Group Discussion (FGD) RUU KKR yang dipimpin Menko Polhukam Mahfud MD di Kantor Kemenko Polhukam, di Jakarta, Rabu (4/12).
Menurut Siti, keberadaan KKR sangat penting bagi Indonesia yang tengah berjibaku menegakkan hukum dan HAM, sebab berkaitan langsung dengan proses demokrasi yang berjalan. "Tentu proses politik juga. Kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan HAM dan hukum ini kan berkaitan dengan kebijakan politik juga," katanya.
Ia mengatakan pemerintah harus mengoptimalkan pelibatan pihak-pihak yang berkepentingan, terutama yang concern terhadap isu HAM, sebab selama ini masih kurang pelibatannya. "Nah, itu kan juga masalah kepastian hukum. Masalahnya kemudian merembet ke 'trust', karena membangun 'trust' itu. Kalau saya, secara proses demokrasi politik itu yang penting," katanya.
Siti mengaku masih lebih banyak mendengarkan pada forum itu karena masih dalam tahap awal, tetapi sudah ada starting poin yang dijadikan pijakan, termasuk data-data juga disampaikan. "Saya hanya concern pada kepentingan KKR di Indonesia yang sangat mendambakan adanya kepastian hukum. Untuk pelanggaran HAM itu harus diperhatikan, istilahnya itu acuan," katanya.
Sebelumnya, keberadaan KKR diatur dalam UU Nomor 27/2004, tetapi kemudian UU tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 karena tidak memberikan kepastian hukum. Hadir dalam FGD itu antara lain Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid, Dirjen HAM Kemenkumham Mualimin Abdi, Guru Besar UI Prof Harkristuti Harkrisnowo, dan Stafsus Presiden RI Dini S Purwono.