REPUBLIKA.CO.ID, Usai melakukan Isra dan Miraj, Nabi saw bersabda, "Aku telah meninjau surga dan aku dapati kebanyakan penghuninya adalah kaum miskin." (al-Bukhari). Benarkah Islam memandang kemiskinan sebagai suatu kelebihan sementara kekayaan adalah penghalang seseorang masuk surga?
Mari kita kaji dulu definisi kekayaan dan kemiskinan menurut Islam. Menurut agama ini, kekayaan adalah rahmat Allah. Makanya, memohon rezeki diajarkan dalam doa Rasulullah, bahkan dibaca berkali-kali setiap kita duduk di antara dua sujud dalam shalat. Hanya saja, kekayaan bukanlah keutamaan selama ia tidak dibelanjakan di jalan Allah.
Sedangkan kemiskinan, menurut Islam, adalah cobaan (ujian) terhadap ketabahan dan kesabaran seorang Mukmin. Kemiskinan bukanlah keutamaan yang secara otomatis menjadikan seorang Mukmin masuk surga sehingga kemiskinan bisa disejajarkan dengan kesabaran, ketakwaan, atau berbagai amal saleh lainnya.
Karena itu, kalimat "orang-orang yang miskin" dalam hadis tersebut harus diterjemahkan sebagai orang-orang miskin yang saleh dan bertakwa; bukan kemiskinan semata.
Sebab, kemiskinan semata-mata kadang malah merupakan bala (ujian buruk) yang bisa membawa seseorang kepada kekufuran. Banyak sekali seseorang mengalami kemiskinan lalu berkecil hati dan menentang Allah. Sikap ini bukan saja melahirkan kedengkian terhadap orang-orang kaya, bahkan menjerumuskannya pada kekufuran (murtad). Inilah maksud sabda Nabi SAW, "Kemiskinan hampir-hampir membawa seseorang kepada kekufuran."
Karena itu, sangat keliru jika hadis tadi dijadikan dalil bahwa Islam menekankan agar umatnya jadi miskin atau memandang kemiskinan sebagai keutamaan menuju surga. Surga dicapai dengan takwa dan amal saleh, bukan kemiskinan. "Itulah surga yang Kami wariskan karena kelebihan amalan-amalan kamu semua." (QS al-A'raf:43).
Karenanya benar ketika Syekh Manshur Ali Nasar, dalam kitabnya al-Taaj, menyatakan keutamaan orang-orang miskin (yang banyak masuk surga) itu bukan karena kemiskinan, tapi karena kesabaran, takwa, dan amal saleh mereka yang (biasanya) menyebabkan mereka miskin. Mereka miskin bukan karena kurang usaha, tapi karena sentiasa mengorbankan banyak harta-benda di jalan Allah, karena mereka lebih mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan sendiri.