REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pakar kelautan dan perikanan yang juga Guru Besar IPB University, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MDS diundang sebagai salah satu nara sumber Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Tahun 2019. Rapat tersebut digelar di Jakarta, Rabu (4/12).
Rakornas KKP tahun 2019 bertujuan untuk menghasilkan Rencana Strategis KKP 2020-2024 melalui masukan para pemangku kepentingan di sektor kelautan dan perikanan maupun sektor terkait.
Rakornas tersebut dihadiri sejumlah menteri dan pejabat tinggi lainnya. Selain Menteri KKP, Eddy Prabowo, juga hadir Menteri Peruhubungan, Budi Karya Sumadi; Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono; Menakertrans, Ida Fauziyah; Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa; dan Ketua Komisi IV DPR RI. Rakornas itu juga dihadiri Kepala dan Sekretaris Dinas Provinsi, Kepala Dinas Kab/Kota lokasi PUGAR dan SKPT, serta Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) KKP di daerah.
Dalam kesempatan tersebut, Prof Rokhmin yang juga ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) memberikan masukan kepada KKP untuk menjalankan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan berbasis ilmu pengetahuan (scientific-based policy) atau ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).
“Hal ini penting agar dapat menyejahterakan masyarakat melalui pengembangan antara lain perikanan tangkap, perikanan budidaya, industrialisasi kelautan dan perikanan, serta pengembangan bioteknologi,” kata Rokhmin dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Menurut mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Gotong Royong itu, jika dikelola secara profesional dan berbasis Iptek, sektor KP (kelautan dan perikanan) dapat menyumbangkan 2% per tahun terhadap pertumbuhan ekonomi nasional (2014 – 2019 hanya 5% per tahun). “Selain itu, lapangan kerja baru, dan multiplier effects selama 5 tahun ke depan (2020 – 2015),” ujarnya.
Ia menambahkan, sektor kelautan dan perikanan mempunyai peran dan kontribusi besar terhadap pembangunan nasional. Sekitar 60% total asupan protein hewani rakyat Indonesia berasal dari ikan dan produk perikanan (Puslitbang Gizi, 2012). "Seiring dengan meningkatnya kesadaran publik tentang gizi ikan (seafood) yang lebih sehat dan baik ketimbang daging merah, maka, konsumsi ikan per kapita dan permintaan terhadap ikan dan produk perikanan akan terus meningkat,” paparnya.
Indonesia memiliki potensi produksi perikanan tangkap dan budidaya terbesar di dunia (100 juta ton/tahun). “Sejak 2009 Indonesia merupakan produsen perikanan terbesar kedua di dunia, berdasarkan data FAO, 2016,” tuturnya.
Selain itu, sekitar 2,7 juta; 3,8 juta; dan 6,5 juta orang Indonesia bekerja di sub-sektor perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan industri hulu-hilirnya. “Artinya sekitar 13 juta orang (10% total angkatan kerja Indonesia) bekerja di sektor kelautan dan perikanan. Dengan ukuran tiap keluarga terdiri dari empat orang, maka, 52 juta orang (20% penduduk Indonesia, 267 juta orang) bergantung pada sektor kelautan dan perikanan,” ungkapnya.
Prof Rokhmin Dahuri menjadi salah satu nara sumber Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2019.
Rokhmin juga mengemukakan, sektor perikanan menghasilkan devisa sekitar 4,5 miliar dolar AS/tahun dan menyumbang sekitar 3% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). “Sektor kelautan dan perikanan menghasilkan multiplier effects yang besar dan luas,” ujarnya.
Rokhmin juga mengusulkan beberapa hal terkait pembangunan perikanan tangkap yang menyejahterakan nelayan dan berkelanjutan. Pertama, kembangkan 5.000 armada kapal ikan nasional modern (ukuran kapal > 100 GT dengan alat tangkap purse seine, long lines, atau trawlers) untuk menangkap ikan di Laut Natuna, Laut Sulawesi, Laut Arafura, ZEEI, dan wilayah laut NKRI lainnya yang selama ini jadi ajang IUU fishing oleh nelayan asing.
Kedua, kata Rokhmin, revitalisasi dan bangun Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) sebagai kawasan industri perikanan terpadu di wilayah-wilayah terdepan NKRI untuk landing base armada kapal ikan nasional diatas. Seperti Natuna/Anambas, Tarakan, Miangas, Morotai, Sorong, Kupang, Sendang Biru, Prigi, Bengkunat, Pantai Panjang (Bengkulu), Bungus, Nias, Meulaboh, Sabang, dan Bagan Siapi Api.
Ketiga, modernisasi dan peningkatan kapasitas nelayan tradisional dengan penggunaan fishing technology yang lebih produktif, efisien, dan ramah lingkungan, sehingga pendapatan nelayan minimal 300 dolar AS /nelayan/bulan.
Keempat, nelayan harus menerapkan Best Handling Practices, dan Cold Chain System untuk jenis-jenis ikan mahal.
Kelima, kurangi tingkat penangkapan ikan (jumlah kapal ikan yang beroperasi) di wilayah-wilayah perairan yang telah overfishing, dan perbesar tingkat penangkapan ikan di wilayah-wilayah perairan yang masih underfishing.
Keenam, penyediaan matapencaharian alternatif, ketika nelayan tidak mampu ke laut, karena cuaca buruk atau musim paceklik ikan.
Ketujuh, pemerintah melalui koperasi, BUMN, atau swasta harus menjamin ketersediaan sarana produksi bagi nelayan di seluruh wilayah NKRI, dengan harga relatif murah.
Kedelapan, pemerintah menjamin pasar ikan hasil tangkapan nelayan dengan harga yang menguntungkan nelayan, dan juga terjangkau oleh konsumen dalam negeri. “Dengan cara membangun kemitraan antara industri (pabrik) pengolahan ikan dengan nelayan,” ujarnya.
Kesembilan, pemerintah harus menyediakan kredit kepada nelayan di seluruh wilayah NKRI dengan bunga relatif murah dan persyaratan pinjam relatif lunak.