REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mengatakan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim kontraproduktif. Hal itu lantaran majelis taklim bukanlah perkumpulan berbahaya.
Azyumardi menilai, PMA tersebut tak seharusnya dikeluarkan karena tak sesuai dengan keadaan. Apalagi, majelis taklim di Indonesia merupakan perkumpulan yang bersifat positif dengan aktivitas membaca Alquran.
"Sebanyak 99 persen lebih majelis taklim di Indonesia ini isinya cuma baca Alquran, baca doa, nggak perlu ditakuti," kata Azyumardi, di Kementerian Agama, Jakarta, Rabu (11/12).
Apabila terdapat ujaran kebencian dari ustaz dan ustazah yang berceramah dengan provokatif, hal itu dinilai dapat ditindaklanjuti pemerintah secara kasus per kasus. Menurutnya, pemerintah tak perlu mengeluarkan peraturan yang mengawasi majelis taklim.
Tak hanya melakukan kegiatan seputar membaca Alquran, majelis taklim juga kerap mengajarkan kegiatan positif seperti pengembangan ekonomi keluarga. Dia menyebut, tak sedikit majelis taklim di Indonesia yang mampu menghasilkan produksi bahan pokok, kerajinan tangan, dan juga mengasah kapasitas keterampilan yang mengarah pada produktivitas.
Kalau pun ada majelis taklim yang bermasalah baik itu terpapar radikalisme maupun mengumbar kebencian, pemerintah sudah seharusnya mengirim penyuluh dan mendatangi majelis taklim tersebut. Bukan justru membuat peraturan yang rumit dan terkesan tidak adil terhadap umat Muslim.
"Pertanyaannya, kalau majelis taklim ini mau diawasi, apa bisa pemerintah mengawasinya? Negara nggak punya kapasitas untuk ini (mengawasi)," ujarnya.
Dalam PMA Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim, Kemenag menerbitkan aturan pendataan majelis taklim. Pasal 6 ayat (1) regulasi itu mengatur majelis taklim harus terdaftar di Kemenag. Aturan pendaftaran ini menurutnya rumit dan sangat berbelit.
"Harus kumpulin KTP-lah, struktur organisasi majelis taklimlah, rumit sekali," katanya.
Sedangkan dalam Pasal 9 dan Pasal 10 beleid tersebut mengatur setiap majelis taklim harus memiliki surat keterangan terdaftar (SKT) yang berlaku lima tahun. Sementara Pasal 19 menyatakan majelis taklim harus melaporkan kegiatan selama satu tahun paling lambat 10 Januari setiap tahun.
Menteri Agama Facrul Razi mengatakan, pembentukan PMA Majelis Taklim tak berkolerasi terhadap pembendungan radikalisme. Dia berdalih pembentukan beleid tersebut hanya semata-mata bantuan kucuran dana bagi majelis taklim yang membutuhma..
"(PMA Majelis Taklim) Itu sepenuhnya tentang masalah bantuan. Nggak ada ngomong radikal anu nggak ada, sama sekali nggak ada. Jadi enteng-enteng saja," ujarnya.
Dia mengaklaim selama ini terdapat aduan yang menyatakan soal majelis taklim yang memiliki kendala dengan keuangan. Hadirnya PMA tersebut dinilai dapat menjadi solusi bagi majelis taklim.
Bantuan tersebut nantinya akan diiringi dengan pembinaan. Dengan 50 ribu penyuluh agama yang dimiliki pemerintah, kata dia, hal itu dapat menindaklanjuti PMA tersebut dalam menjalankan visi. Bukan tanpa syarat, bantuan bisa disalurkan asalkan para ustaz ataupun ustazah pengajar majelis taklim dapat baca-tulis Alquran dan memahaminya dengan baik.
"Yang penting bisa membaca dan memahami Alquran dan hadist dengan baik. Kedua, dia bisa memahami Islam dengan baik," ujarnya.