REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Ribuan orang berunjuk rasa di Ibu Kota India, New Delhi, Sabtu pekan lalu. Alasannya, mereka mendesak Perdana Menteri Narendra Modi mencabut UU baru yang diklaim akan memberikan kewarganegaraan kepada imigran dan memberatkan Muslim.
Akibat protes yang berkecamuk itu, AS, Inggris, dan Prancis mengeluarkan larangan mengunjungi India Timur karena adanya korban jiwa dalam bentrokan berhari-hari itu.
Dalam prosesnya, para demonstran menolak pemerintah membagi India. Bahkan, secara gamblang, massa ingin mempertahankan isi dalam konstitusinya.
“Kami tidak berkumpul di sini sebagai Hindu atau Muslim. Orang berkumpul di sini sebagai warga negara India. Kami menolak RUU ini yang telah dibawa oleh pemerintahan Modi,” kata seorang demonstran, Amit Baruah (55 tahun), seperti dilansir the News, Ahad (15/12).
Demonstrasi itu pecah menjadi kekerasan di bagian Benggala Barat di mana banyak fasilitas umum yang rusak dan pemblokiran jalan. Hingga Kamis malam, ada dua orang yang meninggal dan 26 lainnya dirawat di rumah sakit, setelah petugas menembakkan peluru secara langsung.
Undang-Undang Amendemen Kewarganegaraan itu, memungkinkan pemerintah melacak cepat warga dari minoritas agama termasuk, Hindu dan Sikh dari Pakistan, Afghanistan dan Bangladesh, tapi tidak dengan Muslim.
AS, Inggris, dan Prancis bahkan secara langsung memperingatkan warganya berhati-hati jika bepergian ke wilayah timur India. Hal itu digadang-gadang karena pemerintahan Modi yang memarginalkan sekitar 200 juta Muslim di India.
Sejauh ini, Prancis, Israel, AS, dan Inggris memang telah mengeluarkan travel advisories untuk warga yang melakukan perjalanan ke India. Hal itu mengingat adanya protes yang sedang berlangsung terhadap RUU Amendemen Kewarganegaraan.
Dalam pernyataan Kantor Luar Negeri dan Persemakmuran, Inggris telah mendesak para warganya menghindari perjalanan penting sekalipun. Bahkan, mereka juga meminta warganya tidak mengunjungi Kashmir, Ladakh, dan semua wilayah di perbatasan dekat Pakistan.
Lebih jauh, Amnesty International juga mengaskan, dengan melegitimasi diskriminasi atas dasar agama, jelas melanggar konstitusi India dan hukum HAM.
Sebab, RUU tersebut mengubah Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 1955 untuk memungkinkan para migran gelap memperoleh kewarganegaraan India melalui naturalisasi dan pendaftaran. Namun, UU itu membatasi hanya orang-orang Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsis, dan Kristen dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan yang memasuki India pada atau sebelum 31 Desember 2014.
Tak ada Muslim yang tercantum dalam UU itu. “Pemerintah India menyangkal segala bentuk diskriminasi, tetapi amendemen tersebut dengan jelas mempersenjatai proses NRC terhadap Muslim. Sulit untuk melihat RUU Kewarganegaraan (Amendemen) secara terpisah dan tidak melihat gambaran yang lebih besar,” kata Direktur Eksekutif Amnesty India, Avinash Kumar.
Anggota parlemen dari India Selatan Asaduddin Owaisi pada Sabtu itu juga mengajukan petisi di Mahkamah Agung (MA) negara tersebut. Ketua Majelis India Owaisi mencekal dan menentang keras RUU tersebut. Bahkan, secara gamblang, Owaisi menuduh RUU itu bertujuan membuat umat Islam tidak memiliki kewarganegaraan. Selain itu, dengan adanya RUU tersebut, ia memperingatkan hal itu akan menyebabkan segregasi di India.