REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) enggan menanggapi soal penetapan mantan sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi, suap dan gratifikasi. Sebab, Nurhadi sudah bukan aparatur di lembaga yudikatif tersebut.
"Pak Nurhadi itu pernah menjadi Sekretaris Mahkamah Agung pada 2012-2016, 2016 mengundurkan diri, otomatis kembali kepada warga masyarakat sehingga sudah tidak tercatat sebagai aparatur Mahkamah Agung lagi. Oleh sebab itu, ditanyakan kepada aparatur yang berwenang menangani ini saja," tutur Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Abdullah, di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Selasa (17/12).
Mahkamah Agung sebagai institusi disebutnya menghormati proses hukum yang sedang berlangsung.
Nurhadi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi suap dan gratifikasi senilai total Rp 46 miliar terkait dengan perkara di Mahkamah Agung pada periode 2011-2016. Selain Nurhadi, KPK juga menetapkan dua orang lain sebagai tersangka.
"Tersangka kedua adalah RHE (Rezky Herbiyono) swasta yaitu menantu NHD dan HS (Hiendra Soenjoto), Direktur PT. MIT (Multicon Indrajaya Terminal)," ungkap Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
Nurhadi dan Rezky diduga menerima suap atau gratifikasi terkait tiga perkara di pengadilan dengan total penerimaan Rp46 miliar dalam bentuk sembilan lembar cek dari PT MTI. Penerimaan tersebut terkait pertama, perkara perdata PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) (Persero) pada 2010. Perkara kedua adalah pengurusan perkara perdata sengketa saham di PT MIT.
Nurhadi dan Rezky disangkakan pasal 12 huruf a atau huruf b subsider pasal 5 ayat (2) lebih subsider pasal 11 dan/atau pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Keduanya terancam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Sedangkan Hiendra disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b subsider pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.