Jumat 20 Dec 2019 21:03 WIB

Asa Penyintas Kanker di Akses Pengobatan

Banyak penyintas kanker memiliki harapan untuk bisa sembuh dari penyakit mematikan.

Red: Karta Raharja Ucu
Penyintas kanker, Nur (32 tahun) bersama ayahnya, Karna, sebagai pendamping ketika hendak terapi kemo di RS Dharmais, Jakarta.
Foto: Republika/Zainur Mahsir Ramadhan
Penyintas kanker, Nur (32 tahun) bersama ayahnya, Karna, sebagai pendamping ketika hendak terapi kemo di RS Dharmais, Jakarta.

Dari banyaknya penderita kanker, hanya ada sedikit yang memiliki semangat untuk sembuh seperti Nur. Ketika ia ditemui kembali, di RS Dharmais ruang Anggrek lantai enam, ia sudah menjalankan terapi kemo yang ke-7.

“Walaupun ada efek, tapi alhamdulillah ada kemajuan yang sangat baik,” katanya. Dia menegaskan, karena keinginan yang kuat untuk sembuh, kesehatan selalu dirasa semakin membaik sejak pertama didiagnosis.

Meski kanker memang penyakit yang ekstrim, nyatanya bukan tidak mungkin hal tersebut bisa disembuhkan. Salah satunya Hadi (59) penyintas kanker paru sejak medio 2014 lalu, yang kini telah sembuh. Ketika ditemui Republika belum lama ini, ia mengatakan, hal utama yang harus dimulai untuk sembuh dari kanker adalah percaya pada keinginan untuk sembuh.

“Jangan pikirkan yang lain, kita ikhlas saja terima diagnosis. Asal, kita harus tetap berupaya untuk sembuh,” ujar paruh baya yang masih tegap itu.

Meski ia tergolong cukup berada, dan mampu membayar pengobatan terapi kanker targeted-nya hingga ke luar negeri, dia menilai bahwa pengobatan di Indonesia sudah baik. Sebab, ia juga telah mencobanya sendiri.

Dengan alasan tersebut, Hadi berharap bisa mengajak penyintas kanker untuk berobat, mengingat fasilitas pengobatan di Indonesia yang sudah dipermudah dari segi biaya. Hingga kini, masyarakat di Indonesia dinilai masih belum sadar penuh terkait pengobatan penyakit, terlebih kanker dan penyakit katastropik lainnya.

Menurut dr. Evelin, hal tersebut dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia yang masih berpendapatan rendah, dan percaya pada rujukan kesehatan yang belum diuji secara klinis. “Makanya tugas pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa itu ya tetap ada,” katanya.

Ia juga menilai jika DPR harus membuat UU untuk menanggulangi kanker. Sebab, hal tersebut akan membantu dokter klinis jika ada aturan baku tersebut. Dia mengatakan, UU Kesehatan RI dinilai belum mampu menjadi payung hukum bagi mayoritas penyakit, salah satunya kanker.

Guna mengatasi jumlah penyintas kanker yang semakin banyak, menurut dia, pemerintah dan pemangku kepentingan harus terus berupaya untuk mempermudah setiap upaya yang dinilai baik untuk kepentingan pasien. Bahkan, pihak terkait juga dinilai harus mengupayakan pendidikan kesehatan di setiap sekolah.

“Jadi pencegahan harus dimulai dari tingkat pendidikan terendah,” katanya.

Menanggapi banyaknya penyintas kanker di Indonesia, Direktur PTM Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr Cut Putri Ariani beranggapan, penyebab kanker di Indonesia atau di manapun memang belum diketahui secara pasti. Namun pihaknya meminta masyarakat untuk melakukan pencegahan risiko dari rokok, pola makan hingga kontak dengan zat berbahaya.

“Pokoknya terapkan perilaku hidup sehat untuk cegah risiko kanker,” katanya.

Ia pun mengakui pemahaman pengobatan kanker di Indonesia yang masih kurang. Menurut dia, ada banyak faktor mengapa hal tersebut bisa terjadi, terlepas dari akses pengobatan kanker saat ini yang masih terfokuskan di beberapa daerah saja.

“Kebanyakan masih percaya pengobatan alternatif yang belum teruji. Faktor gaya hidup juga berperan. Bahkan untuk cek up setahun sekali untuk kanker juga sulit,” katanya.

Ia mengakui sarana pengobatan kanker belum ada di setiap kabupaten atau kota. Namun demikian, dengan adanya biaya pengobatan dari BPJS, diharapkan masyarakat mulai sadar untuk berobat ke RS yang sudah menjadi rujukan.

“Tapi mungkin ada biaya transport dan biaya hidup lainnya, yang mereka rasa masih memberatkan,” kata dia.

Sementara itu, anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Daulay beranggapan penyakit katastropik seperti kanker di Indonesia masih tumbuh subur. Karenanya, ia menilai gerakan masyarakat hidup sehat (Germas) yang digalakkan oleh pemerintah tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh masyarakat umum.

 “Itu harus diupayakan lebih masif lagi,” katanya.

Ketika ditanya pengobatan kanker di Indonesia, ia menegaskan BPJS sudah menanggung semua biaya pengobatan, termasuk obat. Namun ia mengaku tidak mengetahui jika ada fasiltas kesehatan yang harus dibayar oleh pasien, termasuk sebagian obat dan pengobatan Imunoterapi yang tergolong baru itu.

Dia menuturkan, jika memang penyintas kanker ada yang mengalami penyempitan pembiayaan atau pengurangan manfaat dari BPJS, maka mereka bisa melaporkannya ke Komisi IX. “Bisa dibantu asal ada surat keterangan resmi,” tuturnya.

Ia berkata, saat ini pengobatan di Indonesia sudah memakai konsep universal health coverage, sehingga semua masyarakat Indonesia harus mendapatkan akses kesehatan. Sayangnya ia mengakui fasilitas kesehatan di Indonesia masih sangat kurang. Pasalnya, hanya beberapa rumah sakit di setiap provinsi yang dilengkapi alat lengkap, selain dari dokter spesialis yang masih kurang.

“Kita sudah minta pada pemerintah untuk memenuhi kelengkapan sarana dan alat kesehatan itu. Termasuk pengadaan obat dan dokter spesialisnya. Dengan demikian, akan ada keseimbangan ke depannya,” katanya.

Guna mendukung upaya pemerintah terkait pengobatan katastropik seperti kanker, UU No 36 Tahun 2009 dinilai sudah bisa menjadi payung hukum. Sehingga, untuk menyelesaikan penyakit yang cukup keras itu, UU tersebut ia nilai bisa menjadi alternatif.

“Kalau ada bentuk lainnya yang memungkinkan harus ada aturan, jangan minta UU, tapi minta dibuatkanPeraturan pemerintah, Perpres atau Permen yang jadi turunannya,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement