Ahad 22 Dec 2019 17:54 WIB

Barter dan Emas Dikaji untuk Perdagangan Antar-Negara Muslim

Sistem barter dan emas dikaji untuk perdagangan antar-negara Muslim dalam KTT di KL.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Perdana Menteri Malaysia Tun Dr Mahathir Mohamad menyampaikan pidato pada pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Kuala Lumpur Summit (KTT KL Summit) yang diikuti 56 negara muslim di Kuala Lumpur Convention Center, Kamis (19/12/2019).
Foto: Antara/Agus Setiawan
Perdana Menteri Malaysia Tun Dr Mahathir Mohamad menyampaikan pidato pada pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Kuala Lumpur Summit (KTT KL Summit) yang diikuti 56 negara muslim di Kuala Lumpur Convention Center, Kamis (19/12/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Negara-negara muslim mengajukan solusi baru dalam mengatasi ketidakpastian perekonomian global dan bangkitnya proteksionisme. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengatakan negaranya, Iran, Turki, dan Qatar mempertimbangkan untuk menggunakan emas dan sistem barter dalam perdagangan di antara mereka sendiri.

Solusi tersebut untuk melindungi perdagangan antara negara-negara tersebut terhadap sanksi-sanksi ekonomi yang mungkin menimpa mereka di masa mendatang. Mahathir memuji Iran dan Qatar yang telah melakukan perlawanan terhadap embargo ekonomi. Ia mengatakan penting bagi dunia muslim untuk menghadapi ancaman embargo ekonomi secara mandiri.

Baca Juga

"Dunia menyaksikan negara-negara membuat keputusan untuk menjatuhkan hukuman semacam itu, Malaysia dan negara-negara lain harus selalu mengingatkan (hukuman tersebut) dapat menimpa kami semua," kata Mathathir, dalam konferensi Islam di Malaysia, Senin (21/12) kemarin.

Sekutu-sekutu Amerika Serikat (AS) di Arab seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir memutus hubungan diplomatik mereka dengan Qatar dua setengah tahun yang lalu. Empat negara itu menuduh Doha mendukung terorisme. Tuduhan yang dibantah dengan keras oleh Qatar.

Sementara, perekonomian Iran merosot tajam setelah AS memberlakukan sanksi ekonomi terhadap Teheran tahun lalu. AS beralasan sanksi tersebut diberlakukan agar Iran menghentikan program nuklir mereka.

"Saya menyarankan agar kami meninjau kembali gagasan berdagang menggunakan emas dina dan sistem barter di antara kami, kami serius untuk mencari tahu ini dan kami berharap dapat menemukan mekanisme untuk menerapkannya," kata Mathathir.

Para pemimpin Malaysia, Iran, Qatar, dan Turki sepakat untuk meningkatkan perdagangan di antara mereka dan menggunakan mata uang selain dolar AS. Maraknya tren menerapkan sanksi ekonomi untuk menekan negara lain memicu fregmentasi antar kawasan atau blok.  

Gagasan untuk melepaskan diri dari tekanan negara-negara Eropa dan Amerika Utara juga berkembang di negara-negara Afrika. Persatuan Keuangan Afrika Barat membuat kesepakatan dengan Prancis untuk mengubah nama CFA france menjadi Eco.

Selain itu, kedua belah pihak juga sepakat untuk memotong hubungan finansial yang telah menekan mata uang Afrika Barat sejak Perang Dunia II berakhir. Dalam kesepakatan itu, Eco tetap berpatokan dengan uero.

Namun, negara-negara Afrika yang tergabung dalam blok itu tidak lagi mempertahankan 50 persen cadangan mata uang mereka di Kementerian Keuangan Prancis. Selain itu Prancis juga tidak lagi memiliki perwakilan di dewan mata uang Afrika Barat.

Banyak pihak yang menilai CFA adalah sisa sejarah masa kolonial. Tapi ada pula yang menyatakan CFA menstabilkan mata uang di kawasan yang kerap bergejolak itu.

"Ini hari yang bersejarah bagi Afrika Barat," kata Presiden Pantai Gading Alassane Outtara dalam konferensi pers bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron di Abidjan.

Pada 2017, Macron sempat menekankan manfaat CFA dalam memberikan stabilitas di kawasan tersebut. Tapi ia juga menyerahkan masa depan mata uang tersebut kepada pemerintah negara-negara Afrika.  

"Ya, ini mengakhiri relik masa lalu, ya ini progres, saya tidak mau mempengaruhi melalui pengawalan, saya tidak mau mempengaruhi lewat instrusi, itu bukan abad yang dibangun hari ini," kata Macron.

CFA digunakan di 14 negara Afrika yang seluruh populasinya mencapai 150 juta orang. Produk Domestik Bruto (PDB) 14 negara itu mencapai 235 miliar dolar AS.

Namun perubahan tersebut hanya berlaku terhadap mata uang yang digunakan negara-negara Afrika Barat seperti Benin, Burkina Faso, Guinea Bissau, Pantai Gading, Mali, Niger, Senegal dan Togo. Selain Guinea Bissau, semuanya adalah bekas jajahan Prancis.  

Ada enam negara Afrika Tengah yang menggunakan CFA yaitu Kamerun, Chad, Republik Afrika Tengah, Republik Kongo, Guinea Khatulistiwa dan Gabon. Selain Guinea Khatulistiwa semua negara Afrika Tengah itu jajahan Prancis.

Sejak tahun 1948 sampai 1994 nilai CFA yang terhubung dengan franc Prancis tidak berubah. Pada 1994, mata uang didevaluasi sampai 50 persen untuk meningkatkan ekspor kawasan tersebut. 

Setelah devaluasi 1 franc Prancis bernilai 100 CFA. Ketika Prancis bergabung dengan euro nilai CFA terhadap euro tetap yakni 1 euro bernilai 656 CFA francs.

CFA franc yang lahir pada 1945 singkatan dari Colonies Francaises d’Afrique (Koloni Prancis di Afrika). Sekarang di Afrika Barat singkatannya menjadi “Communaute Financiere Africaine” (Komunitas Keuangan Afrika) dan di Afrika Tengah menjadi Cooperation Financiere en Afrique Centrale (Kerja Sama Keuangan di Afrika Tengah). 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement