Selasa 24 Dec 2019 16:22 WIB

Toleransi Papua, Jejak Sultan Tidore Hingga Kini

Keharmonisan beragama 'Satu Tungku Tiga Batu' menyatu dalam keharmonisan

Kaimana
Foto: Republika/Priyantono Oemar
Kaimana

Oleh: DR Mulyadi Djaya, Dosen Universitas Papua di Manokwari

 

Ucapan selamat Natal selalu menjadi pro-kontra jelang 25 Desember. Beda di Papua Barat, hal tersebut bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan. Karena keragaman agama sudah membaur dalam radisi/adat, kelembagaan, pemerintahan, dan dalam hidup bermasyarakat.

Prinsip nilai-nilai toleransi atau kearifan lokal sudah diturunkan oleh generasi terdahulu. Sewaktu Zending Ottow dan Gesler menyebarkan agama Kristen (5 Februari 1855) diantar dan dikawal oleh perahu dari Kesultanan Tidore yang beragama muslim. Dalam satu keluarga atau marga ada yang beragama Islam dan Nasrani, dikenal dengan agama keluarga. Maka lahirlah istilah keharmonisan beragama: Satu Tungku Tiga Batu yaitu agama Islam, Nasrani,  dan adat istiadat menyatu dalam satu keharmonisan.

Ada sebuah kampung bernama Namatota di Kaimana 100% penduduknya adalah muslim, tapi sekolah satu-satunya di sana adalah SD YPK (Yayasan Pendidikan Kristen). “Dari dulu penduduk asli di sini tidak mau merubah atau mengganti sekolah ini menjadi negeri atau menjadi yayasan muslim,” ujar Abdur Rahman Labubun Kepala Sekolah SD YPK Namatota.

Sekolah Dasar itu satu-satunya ada di kepulauan Namatota sejak tahun 1970-an. Sudah banyak alumninya menjadi pejabat dari sekolah tersebut seperti Mohamad Lakotani Wakil Gubernur Papua Barat dan Ahmad Nasrau Ketua MUI Papua Barat. Orang tua Namatota yang merupakan keturunan Raja Namatota enggan ada sekolah lain karena sudah menjadi kesepakatan orang tua dahulu bahwa sekolah tersebut sebuah nilai kerukunan yang diturunkan oleh nenek moyang mereka yang muslim.

”Mereka takut bila mengganti nama sekolah walaupun dinegerikan,”  tambah Abdur Rahman. Dulu 100% siswa muslim, sekarang dari 110 siswa hanya 8 orang yang non muslim yaitu anak-anak pendatang dari Maluku, dan 3 guru semuanya muslim.

Demikian sebaliknya, tiga Perguruan Tinggi Muhammadiyah (Universitas Muhammadiyah Sorong, Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong dan STKIP Muhammadiyah Manokwari) 60-80% mahasiswanya nonmuslim dan putra-putri Papua asli.

“Kuliah di perguruan tinggi Muhammadiyah ada mata kuliah wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa termasuk nonmuslim sekalipun yaitu AIK Al Islam dan Kemuhammadiyahaan. Yaitu untuk memperkenalkan nilai-nilai agama Islam dan Muhammadiyah itu sendiri. Tidak ada masalah,” ujar Mulyadi, dosen AIK di STKIP

Muhammadiyah Manokwari itu. Begitu indahnya praktik toleransi di Papua Barat. Oleh sebabnya wajar Papua Barat dinilai memiliki Indeks Kerukunan nomor 1 di Indonesia dibanding 34 provinsi lainnya.

Suasana damai di Kampung Namatota Kaimana Papua Barat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement