REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mencapai Rp 75 triliun sepanjang 2019. BNPB mencatat karhutla menjadi bencana dengan kerugian terbesar.
"World Bank sudah meghitung kerugian karena karhutla mencapai Rp 75 triliun," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Aguw Wibowo saat memaparkan Kaleidoskop Bencana 2019 di gedung BNPB, Jakarta Timur, Senin (30/12).
Ia menuturkan enam provinsi mengeluarkan status siaga darurat karhutla selama 2019. Beberapa sekolah meliburkan aktivitas kegiatan belajar mengajar, bandar udara terganggu, jarak pandang terbatas, dan masyarakat mengalami gangguan pernapasan dampak dari karhutla.
Agus menyebutkan, puncak karhutla 2019 terjadi pada Juli hingga November lalu dengan titik panas mencapai 195.332 titik. Seluas 942.485 hektare (ha) lahan mengalami kebakaran dengan rincian lahan mineral seluas 672.708 ha dan lahan gambut seluas 269.777 ha.
Ia menuturkan, total luas lahan tahun 2019 naik dibandingkan dengan 2018 yakni seluas 529.266 ha. Akan tetapi, angka tersebut masih berada di bawah luas karhutla pada tahun 2015 seluas 2,61 juta ha.
"Puncaknya di bulan September, itu lah paling panas dengan demikian titik panasnya juga paling banyak," kata Agus.
Agus memaparkan, biaya siap pakai yang dipersiapkan BNPB untuk penanganan karhutla sebesar Rp 3,4 triliun. Dana tersebut digunakan untuk langkah pemadaman termasuk operasi darat siaga darurat.
Selain biaya, BNPB melakukan upaya penanganan karhutla di antaranya mengerahkan 88 unit helikopter dan menerjunkan 29 ribu lebih persoeil gabungan. Selain itu, BNPB mengerahkan 471,5 juta liter air WB, 366,8 ton garam, dan 43,5 ribu kilogram kapur.