Senin 30 Dec 2019 14:53 WIB

Membangkitkan Seni Rakyat yang Mati Suri

Setelah kemerdekaan seni ketoprak komunitas Rawapening semakin tenggelam.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Gita Amanda
Penampilan seni ketoprak ‘Bejosari’,  pada puncak acara Sedekah Desa Bejalen, Ahad (29/12) malam. Pagelaran ini merupakan upaya warga setempat dalam membangkitkan kembali kesenian ketoprak.
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Penampilan seni ketoprak ‘Bejosari’,  pada puncak acara Sedekah Desa Bejalen, Ahad (29/12) malam. Pagelaran ini merupakan upaya warga setempat dalam membangkitkan kembali kesenian ketoprak.

REPUBLIKA.CO.ID, Jauh sebelum bangsa ini lepas dari cengkeraman bangsa kolonial, wayang orang dan ketoprak menjadi kesenian lokal yang cukup tenar di sekitar Rawapening. Khususnya mereka (warga) yang bermukim di lingkungan Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah.

Begitu populernya kedua seni lakon tradisional ini, di wilayah eks Kawedanan Ambarawa pun banyak bermukim para pelaku kesenian tersebut. Salah satunya adalah Desa Bejalen yang pada eranya memiliki kelompok kesenian ketoprak yang cukup dikenal di kawasan Rawapening.

Baca Juga

Di mana, awal abad 19 menjadi era kejayaan kesenian ketoprak Bejalen, di wilayah Kawedanan Ambarawa yang saat itu sudah menjadi salah satu kawasan strategis bagi politik kolonialisme di bumi pertiwi. Kesenian ketoprak, menjadi simbol kebebasan berekspresi di tengah hegemoni kekuasaan kaum kolonial.

Tahun 1937, menjadi awal titik balik kehidupan kesenian ketoprak di Desa Bejalen. Politik kolonial yang kian ‘goyah’ oleh ghirah pergerakan kaum pribumi, memandang berbagai aktivitas berkesenian sebagai ‘pusaran arus’ perlawanan yang pada saatnya bisa ‘menenggelamkan’ kekuasaan mereka.

Alih-alih menyiapkan infrastruktur pemanfaatan air Rawapening bagi kepentingan pembangkit listrik, sebagian Desa Bejalen pun ditenggelamkan oleh pemerintahan kolonial. Sebagian wilayah yang ada adalah lingkungan Desa Bejalen hingga saat ini dan sebagian lagi direlokasi di wilayah yang sekarang menjadi bagian dari Kelurahan Tambakboyo.

“Warga eks Bejalen yang dipindahkan, akhirnya mendirikan kampung Tambaksari dan Tambakrejo yang sekarang menjadi bagian dari delapan dukuh di wilayah Kelurahan Tambakboyo dan masih ada hingga sekarang,” ungkap tokoh pemuda Desa Bejalen, Rahmat Kristianto Adi, Ahad (29/12).

Secara tidak langsung, jelasnya, upaya pemerintah kolonial ini juga telah memisahkan dan ‘melemahkan’ para pegiat seni ketoprak di Desa Bejalen. Hingga masa revolusi fisik seni ketoprak Bejalen yang pernah tenar pun lambat laun kian memudar karena para pegatnya juga telah tercerai-berai.

Seiring perkembangan zaman setelah masa kemerdekaan, seni ketoprak komunitas Rawapening ini pun justru semakin tenggelam. Para pegiatnya tak mampu lagi mengembalikan kejayaan seni ketoprak yang dahulu sempat mengangkat nama desa mereka, karena minimnya regenerasi dan keterbatasan ruang berekspresi (kesempatan untuk manggung).

Kini, masih lanjut Rahmat, momentum Sedekah Bumi Desa Bejalen tahun 2019 yang jatuh pada 29 Desember, menjadi titik tolak untuk mengembalikan kejayaan seni ketoprak Desa Bejalen. Di mana puncak dari acara sedekah bumi ini bakal menampilkan pegelaran ketoprak dengan tema ‘Ngudi Kamulyan’.

Secara filosofis, tema ini merepresentasikan sebuah ihtiar untuk membangkitkan kembali kesenian ketoprak Desa Bejalen. Pagelaran ini didukung tidak hanya oleh komunitas budaya warga Desa Bejalen saja, namun juga komunitas budaya warga Dukuh Tambaksari dan Tambakrejo, Kelurahan Tambakboyo yang secara asal- muasal juga merupakan warga Desa Bejalen.

Sehingga pagelaran seni ketoprak gabungan ini diberikan sebutan kelompok seni ketoprak ‘Bejosari’, yang juga merupakan akronim dari nama Desa Bejalen, Dukuhh Tambakrejo dan Dukuh Tambaksari.

“Kami sengaja melibatkan warga Tambaksari dan Tambakrejo, yang dahulu menjadi bagian dari nama besar ketoprak Bejalen. Tujuannya untuk menggairahkan kembali seni ketoprak sebagai bagian dari atraksi budaya pendukung daya tarik Desa Wisata Bejalen,” tambah Rahmat, yang juga Ketua Panitia Penyelenggara Sedekah Desa Bejalen tahun 2019 tersebut.

Warga Desa Bejalen lainnya, Koko Qomarullah (39) menambahkan, untuk mendukung pagelaran ketoprak ini, tidak hanya melibatkan orang tua dan orang dewasa. Namun juga anak- anak, agar generasi penerus ini juga semakin mencintai dan merasa memiliki seni ketoprak yang sudah lama mati suri tersebut.

Melalui pegelaran ketoprak ini, lanjutnya, warga Desa Bejalen juga mengharapkan ada keberpihakan dan dukungan khususnya dari Pemerintah Daerah atas upaya yang dilakukan oleh warga Desa Bejalen, dalam membangkitkan kembali kejayaan kesenian ketoprak di eks Kawedanan Ambarawa ini.

Karena, upaya untuk melestarikan kesenian ketoprak sejauh ini baru dilakukan di Desa Genting, Kecamatan Jambu dan di Desa Bejalen, Kecamatan Ambarawa. “Kita ini masih punya pegiat seni ketoprak, namun perhatian bagi keberlangsungan kesenian ini pun juga masih sangat minim,” tandasnya.

Sehingga, melalui cara ini, ia pun berharap pihak- pihak yang terkait bisa memperhatikan dan lebih peduli pada gairah warga Bejalen yang ingin membangkitkan kesenian ketoprak. "Seperti halnya perhatian pada kesenian wayang," lanjutnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement