REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penangkapan RM dan RB, dua polisi aktif tersangka penyerangan Novel Baswedan, memberi harapan pengungkapan kasus yang telah berproses sejak April 2017. Namun, penggiat antikorupsi menilai, masih banyak kejanggalan terhadap penangkapan dan pengakuan kedua pelaku. Bahkan, tidak sedikit yang pesimis polisi akan sampai kepada aktor intelektual penyerangan penydidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun meminta masyarakat memberikan kesempatan kepada polisi untuk membuktikan fakta-fakta di balik penangkapan dua pelaku pada Kamis (26/12) tersebut. "Jangan sebelum ketemu ribut. Setelah ketemu, ribut. Berikanlah polisi kesempatan untuk membuktikan bahwa itu benar-benar pelaku, motifnya apa, semuanya. Jangan ada spekulasi-spekulasi terlebih dahulu," kata Jokowi usai meninjai kawasan Kota Lama Semarang, Senin (30/12).
Jokowi mengapresiasi kinerja Polri dalam upaya mengungkap kasus Novel. Terpenting, kata dia, masyarakat harus bersama-sama mengawal penyelesaian kasus ini. Penangkapan kedua tersangka baru langkah awal dari pengungkapan kasus ini. "Nanti kita ikuti terus, kawal terus. Sehingga benar-benar apa yang menjadi harapan masyarakat itu ketemu. Oh ini, ya udah," ungkap Jokowi.
Saat dibawa ke Bareskrim Polri pada Jumat (27/12), tersangka penyiram Novel, RB, mengaku memiliki dendam pribadi kepada Novel. Ia tidak suka Novel yang dianggapnya berkhianat. Menanggapi itu, Novel mengaku janggal. "Ketika dia (tersangka) berbicara terkait masalah pribadi dengan saya, ini lelucon apa lagi. Kemudian dendam pribadi, memang saya punya utang apa. Dan saya berpikir lebih baik saya bertemu orangnya," ujar Novel, Jumat (27/12) malam.
Selain kejanggalan pengakuan RB, masyarakat juga menyoroti saku celana kedua tersangka ketika keluar dari gedung Ditreskrimum Polda Metro Jaya dan hendak dibawa ke Mabes Polri. Tampak benda berbetuk kotak di saku celana mereka. Namun, polisi mengaku tidak mengetahuinya.
"Yang terpenting bahwa dari Polda Metro Jaya sampai ke Bareskrim juga kami cek ya. Kami cek apakah ada bawa barang-barang berharga atau tidak di sana. Misalnya membawa jam atau bawa apa ya. Kami pasti titipkan kepada keluarganya maupun petugas," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Argo Yuwono, kemarin.
Argo mengaku belum bisa memastikan ada tersangka lain terkait kasus tersebut. Hal tersebut bisa terjawab dengan ditemukan bukti yang lain. "Yang penting ada alat bukti yang ada," kata dia. Sampai saat ini, kata dia, dua tersangka masih dalam pemeriksaan sehingga motif penyerangan juga belum diketahui. "Belum selesai ini," ujarnya.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (tengah), Penyidik Senior Novel Baswedan (kanan), dan Ketua Wadah Pegawai Yudi Purnomo (kiri) memberikan keterangan kepada wartawan saat menyalakan kembali layar penghitung waktu peristiwa penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, di lobi Gedung KPK, Jakarta, Kamis (19/12/2019).
Bentuk TGPF
Tim advokasi Novel Baswedan mendesak Presiden Jokowi segera membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF). Sebab, mereka meyakini terdapat aktor intelektual atau dalang yang menggerakkan dua tersangka.
"Presiden perlu segera membentuk TGPF dengan melibatkan orang-orang berintegritas dan kompeten agar kasus serangan terhadap Novel dapat terungkap hingga aktor intelektual," kata anggota tim Novel, M Isnur, Senin (30/12).
Tim advokasi menilai, TGPF layak dibentuk lantaran ada kecurigaan upaya menutupi aktor intelektualnya. Salah satunya ketika kedua pelaku dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan dan Pasal 351 ayat (2) KUHP tentang Penganiyaan yang Mengakibatkan Luka Berat.
"Tim Advokasi juga melihat ada kecenderungan yang dibangun bahwa tersangka adalah pelaku tunggal dan menyederhanakan serta mengalihkan kasus kejahatan ini karena persoalan dendam pribadi," kata mereka.
Mantan ketua KPK, Busyro Muqoddas, juga menilai, tidak masuk akal penyerangan terhadap Novel karena dendam pribadi. "Jadi, sama sekali tidak logis ini karena sentimen pribadi dari siapa pun juga yang mengaku-aku. Kalau itu sentimen pribadi, kenapa baru sekarang orang itu baru melakukan pengakuan," kata Busyro di kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, kemarin. n sapto andika candra/haura hafizhah/silvy dian setiawan/febryan a, ed: ilham tirta