REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD – Seorang aktivis Irak bernama Saadoun al-Luhaybi, ditembak mati di Baghdad pada Rabu (1/1) malam waktu setempat. Dia meninggal setelah kepalanya tertembus peluru.
Dikutip laman Alarabiya, menurut seorang sumber kepolisian, al-Luhaybi ditembak di barat daya Baghdad. Peristiwa penembakan terjadi saat gelombang demonstrasi di kota tersebut masih berlanjut.
Al-Luhaybi merupakan salah satu tokoh yang telah berpartisipasi dalam demonstrasi di Irak sejak Oktober 2019 lalu. Dia bersama para demonstran lainnya menuntut para pejabat pemerintah mundur karena dianggap korup. Demonstrasi di Baghdad memanas sejak massa mengepung gedung Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat (AS) pada Selasa lalu. Para pengunjuk rasa melempari Kedubes AS dengan batu dan membakar pos keamanannya.
Aksi penyerangan terhadap Kedubes AS terjadi setelah pasukan AS melancarkan operasi udara dan membidik paramiliter Syiah Irak, Kataib Hezbollah. Dia merupakan bagian dari Popular Mobilization Forces (PMF) yang didukung Iran. Presiden AS Donald Trump memang menuding Iran sebagai dalang di balik aksi penyerangan terhadap Kedubes AS di Baghdad.
Dia bahkan sempat mengancam akan melakukan aksi balasan. Namun belakangan Trump membantah bahwa dia menghendaki perang dengan Teheran.
"Apakah saya mau (berperang)? Tidak, saya ingin damai. Saya suka kedamaian. Iran juga seharusnya menginginkan kedamaian lebih dari siapa pun," kata Trump.
Tudingan Trump segera dikritik dan diprotes Komandan Garda Revolusi Iran, Brigadir Jenderal Hossein Salami. Dia mengisyaratkan bahwa negaranya siap membuka konfrontasi militer dengan Washington.
"Kami tidak memimpin negara ini menuju perang, tapi kami tidak takut perang apa pun dan kami memberi tahu Amerika untuk berbicara dengan benar dengan bangsa Iran. Kami memiliki kekuatan untuk menghancurkan mereka beberapa kali dan tidak khawatir," ujar Salami pada Kamis (2/1).
Aksi demonstrasi di Irak pecah pada 1 Oktober lalu. Masyarakat turun ke jalan untuk memprotes permasalahan yang mereka hadapi, seperti meningkatnya pengangguran, akses terhadap layanan dasar, termasuk air dan listrik yang terbatas, serta masifnya praktik korupsi di tubuh pemerintahan.
Demonstrasi telah menyebabkan Perdana Menteri Irak Adel Abdul-Mahdi mengundurkan diri dari jabatannya. Parlemen Irak telah menyetujui pengunduran dirinya pada Desember lalu. Lebih dari 400 orang telah dilaporkan tewas selama unjuk rasa berlangsung sejak Oktober lalu.