REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan jajarannya untuk segera mengambil salah satu dari tiga opsi penurunan harga gas industri yang sebelumnya ia sodorkan. Ketiga opsi tersebut adalah pengurangan atau penghilangan jatah penerimaan pemerintah, pemberlakuan jatah kuota untuk industri domestik (domestic market obligation/DMO), dan kebijakan bebas impor untuk industri. Salah satu opsi harus diambil paling lama tiga bulan mendatang.
"Saya melihat yang pertama ada jatah pemerintah 2,2 USD per mmbtu supaya jatah pemerintah ini dikurangi, bahkan dihilangkan, ini bisa lebih murah, ini satu. Tapi, nanti tanya ke Menkeu juga," kata Jokowi dalam rapat terbatas dengan kementerian terkait di Istana Negara, Senin (6/1).
Penurunan harga jual gas menjadi perhatian Presiden sejak lama. Harga jual gas industri saat ini masih bertengger di angka 9 sampai 11 dolar AS per million British thermal unit (mmbtu). Padahal, menurut Perpres Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas, harga jual gas industri diputuskan tak boleh lebih dari 6 dolar AS per mmbtu.
"Kalau tidak segera diputuskan ya akan gini terus. Pilihannya kan hanya dua, melindungi industri atau melindungi pemain gas," kata dia menambahkan.
Jokowi mengaku geram karena tingginya harga gas memengaruhi industri nasional. "Saya sudah beberapa kali kita berbicara mengenai ini, tetapi sampai detik ini kita belum bisa menyelesaikan mengenai harga gas kita yang mahal," kata Jokowi.
Presiden menegaskan, turunnya harga gas ini sangat penting karena gas tak hanya sebagai komoditas, tetapi juga menjadi modal pembangunan yang dapat memperkuat industri nasional. Di Indonesia, terdapat enam sektor industri yang menggunakan 80 persen volume gas, yakni pembangkit listrik, industri kimia, industri makanan, industri keramik, industri baja, industri pupuk, dan industri gelas. Tingginya harga gas pun akan sangat berpengaruh terhadap biaya produksi dan berdampak pada daya saing industri nasional di pasar dunia.
"Artinya, ketika porsi gas sangat besar pada struktur biaya produksi maka harga gas akan sangat berpengaruh pada daya saing produk industri kita di pasar dunia. Kita kalah terus produk-produk kita gara-gara harga gas yang mahal," kata dia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menjelaskan, sejumlah insentif yang akan diberikan demi menurunkan harga jual gas industri ini masih harus dibahas lebih terperinci bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai pemegang kendali anggaran. Alasannya, pemberian insentif berpeluang mengurangi penerimaan negara dari produksi gas.
"DMO, terus kemudian juga bebas pajak. Itu nanti dengan Bu Menkeu ya. Nanti dalam kuartal ini akan kita coba selesaikan," ujar Arifin selepas menghadiri rapat tersebut.
Menurut dia, opsi yang berpotensi menggerus penerimaan negara salah satunya adalah pengurangan jatah pemerintah. Dari hasil kegiatan produksi, dengan kontraktor kontrak kerja sama (K3S) ataupun bukan, ada perhitungan porsi pemerintah sebesar 2,2 dolar AS per mmbtu. Porsi yang dikurangi adalah bagian pemerintah yang masuk dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
"Kan porsi pemerintah itu ada fiskal, yang digunakan terhadap komoditas gas. Jumlahnya kan 2,2 dolar. Ini dianggap memberikan beban tersendiri terhadap komponen harga gas," ujar Arifin.
Opsi lain yang masih dipertimbangkan adalah mewajibkan DMO untuk menjamin alokasi produksi gas dalam negeri untuk industri. Selain itu, opsi ketiga adalah swasta diberikan kemudahan importasi gas untuk pengembangan kawasan industri yang belum ada jaringan gas nasional.
Namun, pembebasan impor gas tak sembarangan. Perusahaan yang diberikan tugas hanya menyuplai gas untuk kebutuhan industri sehingga industri tersebut bisa mendapatkan harga gas yang sesuai.
Ladang Migas
Dikaji matang
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto menilai opsi penurunan harga gas yang akan diambil pemerintah harus dikaji secara matang, khususnya opsi pengurangan jatah pemerintah dan pembebasan impor gas. Dua opsi tersebut, menurut dia, menghadirkan tantangan baru bagi pemerintah.
Misalnya, opsi pengurangan jatah pemerintah. Porsi yang dikurangi adalah bagian pemerintah yang masuk dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Jika PNBP dikurangi, harga gas diyakini bisa ditekan. "Nanti harus ada kompensasinya dari mana saja. Tentu kalau ada penurunan di perpajakan (penerimaan pemerintah), tentu harus ada kenaikan pajak di sektor lain," ujar Dwi.
Artinya, pengurangan PNBP justru akan menambah beban negara untuk memutar otak mencari penerimaan dari pos lainnya. Sementara itu, untuk opsi bebas impor gas, Dwi khawatir kebijakan ini justru akan menambah defisit neraca perdagangan yang saat ini masih membebani negara.
"Itu juga kalau begitu kita izin impor, defisit perdagangan di migas akan nambah, menjadi lebih jelek. Juga harus dikaji, kompensasinya apa buat defisit," kata Dwi. n sapto andika candra/dessy suciati saputri, ed: ilham tirta