REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belum lama ini masyarakat Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya dilanda bencana banjir. Harta benda yang dimiliki masyarakat pun banyak yang hanyut. Lalu, bagaimana fikih Islam memandang status harta benda yang hanyut karena banjir tersebut?
Dalam pandangan ulama madzhab Syafi’i, status barang tersebut tidak dikategorikan sebagai barang temuan (luqathah), tapi tergolong barang yang telantar atau hilang (mal dha’i). Bagaimana status harta telantar ini dalam fikih?
Dikutip dari laman resmi Ma'had Aly Situbondo, Imam Syarbini mengatakan, jika pemilik barang tersebut sudah tidak menghiraukannya, tidak berusaha mencari barangnya yang hanyut, tidak menyebarkan informasi baik di media ataupun selebaran, maka barang tersebut bisa diambil sebagai hak milik yang memungutnya.
Tapi, jika masih ada upaya dari pemilik mencari dan mendapatkan barang tersebut, maka yang memungutnya hanya diperbolehkan menyimpan barang untuk nantinya diserahkan kepada pemiliknya. Dalam pandangan Imam Zakariya al-Anshari, pemilik tanah yang menemukan barang hanyutan banjir di tanah miliknya boleh memilikinya setelah menyiarkan informasi tentang barang tersebut.
Informasi tersebut disebarkan hingga dalam pandangan khalayak umum menilai pemiliknya sudah tidak mencarinya lagi. Jika, setelah menyiarkan informasi, diketahui dengan pasti siapa pemiliknya, maka mau tidak mau barang itu harus diserahkan kepada pemiliknya.
Dalam menyikapi harta telantar ini, Imam Bujairami mengatakan, harta telantar harus dimasukkan ke dalam kas negara (bait al-mal) jika diyakini negara akan mendistribusikan barang tersebut kepada kepentingan umum. Tapi jika tidak, maka harta telantar itu bisa disedekahkan kepada jalan kebaikan, seperti membangun jembatan yang ambruk karena banjir dan lain sebagainya.
Dengan penjelasan di atas, maka masyarakat tidak boleh mengambil kesempatan saat dilanda bencana banjir. Tetap berlaku bijak adalah pilihan sikap terbaik. Kembalikan barang telantar itu kepada pemiliknya.