REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Oman Fathurahman menjelaskan ideologi Pancasila telah mengandung keseluruhan nilai-nilai kekhalifahan.
"Sesungguhnya lima sila dalam Pancasila sudah merepresentasikan keseluruhan nilai kekhalifahan yang disebut dalam teks-teks agama, khususnya Alquran. Kalau Pancasila itu bisa diwujudkan secara paripurna oleh para pemimpin kita, saya yakin tidak akan ada lagi pemikiran untuk mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain," katanya dalam keterangan pers, Rabu (15/1).
Ia menjelaskan, dalam tradisi Islam, kata khalifah itu punya dua makna. Pertama, khalifah secara umum, yakni manusia sebagai khalifah di muka bumi. Allah menyebut Nabi Adam sebagai seorang khalifah yang diturunkan, seperti dijelaskan dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 30.
Kedua, khalifah secara khusus, yakni dimaksudkan dalam konteks pengganti Nabi Muhammad sebagai pemimpin agama dan negara. Dalam sejarah kesultanan di Nusantara, para sultan banyak yang menggunakan gelar Khalifatullah fil Ardh atau khalifah di muka bumi, yang bisa dianggap mengandung dua arti sekaligus, baik sebagai manusia sempurna (insan kamil) makhluk Tuhan, maupun sebagai raja, wakil Tuhan untuk mengelola bumi," katanya.
"Apa pun makna khalifah yang dirujuk, jelas misi Tuhan menjadikan manusia atau pemimpin sebagai khalifah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan keadilan bagi semesta," katanya.
Namun menurutnya, seiring dengan perkembangan zaman dan semakin beragamnya kebudayaan manusia, makna khalifah perlu dimaknai secara substantif dalam konteks masing-masing, termasuk dalam konteks Indonesia. "Makna substantif yang tidak boleh hilang adalah khalifah sebagai pengemban kemaslahatan dan keadilan. Karenanya, semua pemimpin Indonesia harus bisa mewujudkan kemaslahatan dan keadilan itu sebagaimana menjalankan praktik agama juga harus dipahami sebagai bagian dari komitmen dalam mewujudkan kemaslahatan bernegara," katanya.
Oleh karenanya, menurut dia, semua pemimpin Indonesia harus bisa mewujudkan kemaslahatan dan keadilan itu dengan jalan dan caranya masing-masing. Mengingat bentuk dan sistem pemerintahan di Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa, maka setiap pemimpin, dan juga manusia, Indonesia harus memahami pengabdian kepada negara ini.
"Karena hal itu sebagai bagian dari pengamalan ajaran agama, sebagaimana menjalankan praktik agama juga harus dipahami sebagai bagian dari komitmen dalam mewujudkan kemaslahatan bernegara. Inilah sesungguhnya substansi makna khalifah dalam konteks manusia Indonesia," ujarnya.
Dia mengungkapkan sejatinya kita sebagai umat Islam harus mencontoh sikap Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan. Karena bagi umat Islam, Nabi Muhammad SAW adalah uswah hasanah atau teladan yang baik.
"Tetapi, jangan keliru, dalam konteks kepemimpinan, Nabi Muhammad bukan khalifah (pengganti), ia justru pemimpin yang digantikan oleh para sahabatnya. Nabi Muhammad adalah khalifah dalam konteks sebagai manusia sempurna, yang harus diteladani," ujarnya.
Oman juga mengatakan ketika terjadi kerusakan atau pertikaian di bumi dan lingkungan sosial yang tidak harmonis, maka perilaku buruk manusia terhadap semesta tidak berarti menghilangkan statusnya sebagai khalifah di muka bumi. Setiap manusia bertanggung jawab terhadap kedamaian di muka bumi.
Ia mengatakan, dalam sejarah manusia ada yang berhasil mewujudkan kemaslahatan, yang disimbolkan oleh Habil. Namun ada yang gagal, yang disimbolkan oleh Qabil.
"Tugas kita semua untuk terus memperbaiki agar amanah Tuhan kepada kita sebagai khalifah, dapat kita emban dengan baik, jangan mengkhianati-Nya dengan merusak semesta," kata Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.