REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sudah 72 tahun lamanya konflik Palestina-Israel berlangsung sejak dimulai 1948 silam. Penderitaan yang dialami rakyat Palestina selalu mendapat perhatian dan prioritas utama, terutama dari negara-negara Arab.
Namun kini iklim di kawasan Arab berubah. Dunia Arab tampaknya tidak lagi terlibat dalam perjuangan untuk hak-hak warga Palestina yang pernah diperjuangkannya. Jurnalis Palestina yang tinggal di London, Yousef Alhelou, dalam artikelnya di The Arab Weekly, menulis bahwa orang-orang Palestina memang tidak kehilangan solidaritas dan simpati dari saudara-saudara Arab mereka. Namun, iklim kawasan telah berubah dan mengubah aliansi.
Sehingga, keadaan orang Palestina kurang menjadi prioritas regional. Rakyat Palestina dibiarkan sendirian. Mereka bertahan dengan dukungan keuangan bersyarat dari negara-negara Barat dan Arab.
Lantas, apa yang menyebabkan perhatian dan dukungan untuk perjuangan Palestina dari negara-negara Arab ini menurun?
Analis politik Sharhabeel al-Ghareeb mengemukakan, bahwa dalam beberapa tahun terakhir, perjuangan Palestina hanya mendapat sedikit perhatian dan prioritas karena berbagai alasan.
Pertama, menurutnya, karena perpecahan politik internal Palestina, yang telah tercermin secara negatif. Kedua, propaganda Israel menciptakan keputusasaan dan frustrasi di antara orang-orang Palestina dan Arab dan melemahkan ketahanan mereka.
"Ketiga, itu karena kekacauan dan konflik di negara-negara Arab yang telah menyebabkan orang-orang di negara bermasalah itu hanya khawatir tentang nasib dan masa depan mereka," kata al-Ghareeb, dilansir pada Senin (20/1).
Perpecahan dan ketidaksepakatan politik antara warga Palestina sendiri telah menghambat upaya penyelesaian konflik dan kadang-kadang mengasingkan sekutu tradisional. Sementara itu, ketidakstabilan dan konflik di negara-negara Arab menyebabkan penurunan dukungan untuk perjuangan Palestina.
Konflik bersenjata di Suriah, Libya, Irak, Yaman, dan Sudan telah menyebabkan puluhan ribu orang terbunuh, terluka, ditangkap dan dipindahkan. Sedangkan konflik entah kapan berakhir. Semua orang sibuk mengumpulkan potongan-potongan kehidupannya yang hancur.
Di sisi lain, kebijakan Israel untuk mengulur waktu juga terbukti bekerja. Sementara orang-orang Palestina sudah muak dan frustrasi, dan merasa ditinggalkan oleh rekan-rekan Arab mereka.
Profesor ilmu politik di Universitas Al-Ummah Gaza, Husam al-Dajani, mengatakan Israel menggerakkan konflik di antara orang Arab dan Palestina untuk merusak ikatan mereka dan memperkuat posisinya sendiri.
Menurutnya, Israel memicu konflik dan kerusuhan di Timur Tengah untuk melemahkan dunia Arab dan Muslim, dengan membuat mereka sibuk saling bertarung.
Akibatnya, dunia Arab dilanda kesulitan ekonomi. Dengan bantuan sekutu-sekutunya, Israel mendorong konflik yang melemahkan moral dan hati nurani orang Arab.
"Ini memperdalam perpecahan antara warga Palestina dan membuat persatuan di antara mereka menjadi fatamorgana," kata Dajani.
Sementara itu, pertikaian antara saingan utama dari dua faksi politik di Palestina, Fatah dan Hamas, tidak membuat posisi yang lemah menjadi lebih baik. Palestina bergantung pada bantuan asing yang terkadang bersyarat.
Di sisi lain, Otoritas Palestina (PA) juga terpukul sejak Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjabat. Selama masa kepresidenan Trump, Perdana Menteri Israel Binyamin Netanyahu telah menerima lebih banyak dukungan keuangan, militer, moral dan diplomatik daripada sebelumnya.
Tidak hanya itu, AS juga mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel dan memindahkan kedutaan besarnya di sana. AS juga memutus bantuan kepada PA dan kepada Lembaga Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina. Lembaga PBB ini melayani jutaan pengungsi Palestina di Gaza, Tepi Barat, Yordania, Suriah, dan Lebanon.
Selain itu, AS juga menutup kantor Organisasi Pembebasan Palestina di Washington. Semua hadiah untuk Israel ini secara signifikan melemahkan Otoritas Palestina.
Selama tujuh dekade terakhir selama konflik Palestina-Israel berlangsung, Tel Aviv telah mengulur waktu, melanggar perjanjian yang ditandatangani dengan PA.
Israel juga memperluas permukiman ilegal untuk mendorong agar warga Palestina tunduk, dan menekan mereka untuk menerima apa yang ditawarkan.
Tidak hanya faktor ini, dinamika yang berubah dan berkurangnya perhatian dunia Arab terhadap Palestina juga disebabkan karena langkah sejumlah negara Arab yang mengembangkan hubungan dengan Israel. Mereka melakukan itu dengan tujuan menangkal Iran.
Kubah Nabi, Kompleks Masjid Al Aqsha, Yerusalem, Palestina.
Bagi beberapa negara, Israel tidak lagi selalu dipandang sebagai musuh nomor satu. Namun, posisi Israel itu kini digantikan Iran.
Secara umum, dunia Muslim terbagi. Dalam artikelnya, Alhelou menyebutkan bahwa setiap negara dan penguasa menjaga kepentingan mereka sendiri. Aliansi dan agenda menentukan sifat hubungan antar negara."Musuh hari ini bisa menjadi teman di hari esok dan sebaliknya," tulisnya.
Hal ini juga berlaku untuk Palestina, yang keberpihakan politiknya telah memperumit pemandangan. Beberapa keputusan faksi politik Palestina untuk memperkuat hubungan dengan Iran, misalnya, atau menentang pembicaraan damai dengan Israel membuat mereka bertentangan dengan negara-negara Arab lainnya.
Sementara itu, lembaga think-tank dan pusat penelitian Israel bekerja sepanjang waktu untuk menarik kebijakan jangka panjang baru untuk memusnahkan Palestina atau setidaknya memaksa kepemimpinan Palestina agar membuat lebih banyak konsesi. Tentunya, hal ini adalah berita buruk bagi Palestina dan kawasan Timteng yang lebih luas.
Karena itu, Alhelou mengatakan bahwa meninggalkan perjuangan Palestina tanpa solusi yang adil tidak akan mengarah pada stabilitas di kawasan itu. Saat ini, rakyat Palestina membutuhkan banyak dukungan dari sekutu Arab dan Muslim lebih dari sebelumnya. Dukungan itu penting agar bangsa Palestina mengedepankan front persatuan dalam perjuangan mereka.