REPUBLIKA.CO.ID, LEBAK -- Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Kependudukan dan Keluarga Berencana (DP3AKKB) Provinsi Banten Siti Ma'ani Nina mengatakan kasus kekerasan seksual di daerah ini cukup menonjol dialami anak dan perempuan.
"Kami minta masyarakat dapat melindungi anak dan perempuan dari kekerasan itu," kata Siti saat mengunjungi korban banjir dan longsor di Dodiklatpur Ciuyah Kabupaten Lebak, Jumat (24/1).
Dia mengatakan kekerasan anak dan perempuan harus mendapat perhatian pemerintah daerah, pemangku kepentingan, aparat hukum dan berbagai elemen masyarakat. Selama ini, kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Banten cukup menonjol dan berdasarkan laporan 2019 mencapai 300 kasus.
Pelaku kekerasan seksual itu akibat pergaulan lingkungan. Orang tua dan masyarakat diminta berperan mengawasinya.
Namun, pelaku kekerasan seksual kebanyakan dilakukan orang dekat baik dari keluarga maupun lingkungan pergaulan. "Kami minta orang tua dan masyarakat dapat mengawasi pergaulan anaknya guna mencegah korban kekerasan seks," katanya.
Menurut dia, pemerintah Provinsi Banten mengapresiasi stakeholder yang terlibat untuk pencegahan kekerasan anak dan perempuan, di antaranya Lembaga Perlindungan Anak (LPA) dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Kehadiran stakeholder itu membantu dalam melakukan konseling dan sosialisasi ke tingkat desa-desa.
Mereka juga mengawasi proses hukum yang ditangani kepolisian hingga proses pengadilan untuk mendampingi korban kekerasan yang dialami anak dan perempuan. Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Lebak Ratu Mintarsih mengatakan kekerasan berlatar seksual yang menonjol itu akibat dampak penggunaan teknologi dan pergaulan lingkungan sekitar.
Para korban pelaku kekerasan berlatar seksual itu kebanyakan usia anak hingga terjadi pembunuhan yang dialami gadis Badui. Pelaku pemerkosaan dan pembunuhan terhadap gadis Badui berusia 13 tahun itu setelah pelaku mengakses pornografi melalui teknologi.