REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Vonis bersalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap Dede Lutfi Alfiandi dianggap tak tepat. Amnesty Internasional Indonesia menilai putusan pengadilan tersebut seharusnya tak dapat dijatuhkan karena kepolisian sedang menyelidiki tuduhan penyiksaan Lutfi saat dalam penahanan.
Direktur Amnesty Indonesia Usman Hamid menyoroti dua hal dalam persidangan Lutfi. Pertama, demonstran berusia 20 tahun itu tak pantas untuk diajukan ke pengadilan.
Sebab, kata dia, aksi demonstrasi yang dilakukan Lutfi adalah aksi damai. Usman menegaskan, konstitusi Indonesia menebalkan perlindungan hak asasi manusia, dan aksi unjuk rasa.
“Lutfi sebenarnya melakukan protes damai. Jadi menghukum seseorang yang berunjuk rasa secara damai, justru menjauhkan para penegak hukum dari nilai-nilai hak asasi manusia," ujar Usman dalam rilisnya kepada Republika, Kamis (30/1).
Kedua, menurut Usman, tentang jalannya proses persidangan terhadap Lutfi. Saat memberikan kesaksian di hadapan Majelis Hakim PN Jakpus, terang Usman, Lutfi mengaku mengalami ragam aksi penyiksaan yang dilakukan oleh penyidik kepolisian.
Penyiksaan tersebut, apapun bentuknya, menurut Usman, tak dapat dibenarkan. Apalagi, penyiksaan itu dilakukan untuk memaksa terperiksa mau mengakui tuduhan yang disangkakan penyidik.
Terkait pengakuan tentang penyiksaan tersebut, Usman mengatakan, Kapolri Jenderal Idham Aziz pernah berjanji untuk melakukan penyelidikan internal. Menurut Usman, janji Kapolri tersebut seharusnya mendapat respons pengadilan dengan membatalkan atau menunda seluruh sangkaan, dakwaan, bahkan tuntutan terhadap Luthfi di pengadilan.
Ia mengatakan, seharusnya Majelis Hakim PN Jakpus, menunggu proses penyelidikan internal yang dilakukan oleh Kepolisian tentang penyiksaan tersebut. “Vonis bersalah terhadap Luthfi, tanpa menunggu terlebih dahulu hasil dari proses penyelidikan internal kepolisian tentang penyiksaan, sangat disesalkan,” sambung Usman.
Menurut Usman, dengan tetap menjatuhkan vonis terhadap Luthfi tanpa ada hasil dari investigasi penyiksaan sama artinya partisipasi pengadilan dalam aksi main hakim sendiri para penyidik dalam menekan terperiksa. “Sama saja memberikan sinyal hijau kepada aparat untuk mengulangi perbuatan (menyiksa tahanan) di masa depan,” sambung Usman.
Usman menegaskan, Indonesia terikat dalam Konvensi Internasional Penentangan terhadap Penyiksaan dan Perlakuan Hukum yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat. “Persidangan terhadap Luthfi menunjukkan betapa pentingnya prinsip pengecualian bukti yang datang dari proses yang melawan hukum dimasukkan ke dalam hukum acara pidana,” sambung Usman.
PN Jakpus, Kamis (30/1) menjatuhkan vonis bersalah terhadap Luthfi. Majelis Hakim pun menghukum Lutfhi dengan penjara selama empat bulan.
Vonis dan hukuman tersebut mengabulkan dakwaan dan tuntun Jaksa yang meminta Majelis Hakim memenjarakan Luthfi selama empat bulan, karena dituduh melanggar Pasal 218 KUH Pidana. Luthfti dituduh melakukan aksi melawan, dan melakukan kekerasan terhadap aparat kepolisian saat melakukan demonstrasi menolak RUU KUH Pidana, dan RUU KPK 2019 di depan Gedung MPR/DPR September 2019.