REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid meminta peristiwa 15 Januari 1974 atau Malari dijadikan pelajaran oleh pemerintah. Usman mendorong pemerintah menjalankan tugasnya dalam melindungi hak rakyat.
Tanggapan Usman diutarakan dalam momentum peringatan 50 Tahun Peristiwa Malari yang jatuh pada hari ini. "Peristiwa Malari harus selalu diingat sebagai momen tragis dan kegagalan negara untuk melindungi hak warganya dari kekerasan," kata Usman kepada Republika.co.id, Senin (15/1/2024).
Usman mengingatkan mahasiswa berani menyuarakan kritik terhadap investasi asing pada 50 tahun lalu. Tapi sayangnya saat itu aksi protes ditanggapi oleh aparat dengan kekerasan, penangkapan sewenang-wenang, dan diikuti oleh praktik pembredelan sejumlah media massa.
"Respons negara seperti kasus Malari itu jelas merupakan pelanggaran HAM serius. 50 tahun berlalu, sayangnya pilihan represif serupa masih terjadi di negara ini," ujar Usman.
Usman merujuk penangkapan dan kekerasan aparat atas warga sipil dalam aksi protes warga Nagari Air Bangis dan Dago Elos Agustus lalu, warga Rempang September lalu, aksi protes mahasiswa di Makassar dan di Jakarta Oktober lalu. Menurutnya, hal ini mensinyalkan kekerasan aparat tak berhenti di era pemerintahan Jokowi yang mencitrakan diri dekat dengan rakyat.
"Kami mengingatkan negara bahwa Peristiwa Malari bukan hanya catatan hitam dalam sejarah bangsa ini, tapi juga pelanggaran HAM yang harus diusut tuntas seadil-adilnya," ujar Usman.
"Negara punya kewajiban melindungi hak asasi, bukan malah melanggengkan kesewenang-wenangan dan tindakan represif aparat terhadap mereka yang kritis terhadap kebijakan negara," ujar Usman.
Latar belakang Malari....