REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Organisasi kemanusiaan Amnesty International mendesak pemerintah-pemerintah dunia untuk tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dalam upaya mengatasi dan mengakhiri virus corona baru. Virus tersebut telah menewaskan 560 orang di China.
Amnesty memperingatkan meningkatnya penggunaan sensor, penangkapan sewenang-wenang dan pembatasan lainnya. Mereka mendesak agar pihak berwenang memastikan semua orang yang terinfeksi mendapatkan akses kesehatan.
"Pemerintah China harus mengambil langkah untuk melindungi warga dari diskriminasi, sementara pemerintah seluruh dunia harus mengambil pendekatan yang tak menoleransi serangan rasialis terhadap warga China dan Asia," kata direktur regional Amnesty International, Nicholas Bequelin, Kamis (6/2).
Dalam pernyataannya Amnesty Internasional mengatakan aktivis mereka mencoba untuk menyebarkan informasi tentang virus korona melalui media sosial dan saluran lain tapi dilecehkan dan dipertanyakan. Mereka mengatakan langkah yang merusak aliran informasi semacam itu dapat 'amat sangat kontra-produktif'.
Salah satu risiko terbesar yang melibatkan diskriminasi dan xenophobia meningkat baik di dalam maupun luar China. Dalam pernyataannya Amnesty mencatat banyak orang China yang ditolak oleh hotel dan data pribadi mereka dibocorkan.
Serikat pekerja medis Hong Kong memperingatkan 20 ribu anggota mereka akan mengundurkan diri massal. Bila otoritas Rumah Sakit wilayah semi-otonom itu menolak berdialog dengan mereka.
Ribuan anggota serikat kerja melakukan mogok kerja sejak Senin (5/2). Mereka menutut agar otoritas Hong Kong menutup sepenuhnya perbatasan dengan Cina daratan untuk mencegah penyebaran virus corona dan memastikan keselamatan lingkungan kerja termasuk menyediakan masker gas untuk staf rumah sakit.
Hong Kong kesulitan untuk menahan laju penyebaran virus. Saat ini sudah ada 21 kasus yang dilaporkan di kota itu. Mogok kerja itu memukul keras layanan darurat tapi pemerintah Hong Kong menolak menutup perbatasan.