Selasa 11 Feb 2020 22:47 WIB

Soal Pemulangan Eks ISIS, Waketum MUI: Jangan Pukul Rata

Waketum MUI meminta agar pemulangan eks ISIS tidak dipukul rata.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nashih Nashrullah
Kamp pengungsian Al-Hol di Hassakeh, Suriah yang menampung keluarga anggota militan ISIS.
Foto: Reuters
Kamp pengungsian Al-Hol di Hassakeh, Suriah yang menampung keluarga anggota militan ISIS.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan tanggapan soal pemulangan WNI eks-ISIS. Wakil Ketua MUI Muhyiddin Junaidi menuturkan, sebaiknya semua pihak tidak memukul rata tujuan WNI bergabung dengan ISIS. 

"Terkadang mereka bergabung itu karena buku yang diterima itu salah atau tidak tahu apa yang sedang terjadi. Maka kita harus adil, jangan dipukul rata. Kalau anak-anak, masa kita larang (untuk pulang ke Indonesia)," kata dia di kantor MUI, Jakarta, Selasa (11/2).

Baca Juga

Menurut Muhyiddin, jumlah WNI yang bergabung dengan ISIS itu masih lebih sedikit ketimbang warga negara lain seperti Prancis dan Inggris yang bergabung ke ISIS. Dia menambahkan, ISIS secara historis memang merupakan makhluk radikalis dan super-ekstremis yang dibentuk AS dan Israel.  

"Jadi kita harus paham siapa mereka. Arsitek dan otak intelektualnya mereka. Program agenda kerja itu dari mereka. ISIS enggak pernah serang Israel. Tentara ISIS yang terluka dalam peperangan itu dapat pengobatan di Israel bukan di Saudi atau Libanon," paparnya.

Karena itu, Muhyiddin memandang, bagi WNI yang sudah jelas membakar paspor, itu perlu diperbolehkan untuk pulang tapi dengan tetap menjatuhkan sanksi. Pemerintah juga harus mempertimbangkan pemulangan eks-ISIS yang sekadar terpengaruh atau ikut-ikutan karena diiming-imingi uang yang fantastis. 

"Kalau mereka yang enggak mau pulang itu lain lagi. Tapi bagi warga yang terpengaruh ikut-ikutan gabung karena mau dapat kerjaan atau dibohongi ya perlu kita tinjau lagi. Karena mungkin tergiur untuk mendapat uang lebih besar atau karena mungkin keterpaksaan," ujar dia.

Muhyiddin mencontohkan sahabat Nabi Muhammad SAW yaitu Ali bin Abi Thalib yang memaafkan kelompok Khawarij padahal jelas mereka musuh utama.  

"Jadi kalau mau menerima mereka, kita screening Anda mengapa ke sana. Sejauh mana loyalitas Anda kepada ISIS dan sebagainya. Mungkin kita perlu karantina, dan memberi pendampingan agar tidak berpikir radikal," tambahnya.  

"Menolak total pun tidak bagus karena tidak boleh kita menggeneralisasi. Kami yakin jumlah mereka itu minim, dibandingkan yang dari negara-negara lain," tuturnya.

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement