REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Pusat mengungkapkan ada tiga anak di bawah umur terlibat tawuran di Jalan Cempaka Barat Raya dan Jalan Pramuka Sari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, yang menewaskan pedagang pecel lele berinisial A pada pekan lalu. Polisi pun memanggil orang tua dari tiga anak tersebut.
"Orang tua para pelaku sudah datang dan mereka tidak sadar bahwa anak-anaknya masuk ke dalam kelompok ini (yang melakukan tawuran)," kata Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Pol Heru Novianto dalam jumpa pers di Mapolres Metro Jakarta Pusat, Selasa (18/2).
Setelah pengejaran lebih lanjut, ada tujuh orang yang ditangkap Polres Metro Jakarta Pusat karena terindikasi terlibat tawuran di Cempaka Putih pada Ahad (16/2) lalu. Mereka adalah DJ (18 tahun), SP (17), RM (19), AN (18), MO (19), AY (17), dan AS (16).
Ketujuhnya tergabung dalam sebuah kelompok bernama "Melehoy 913" yang anggotanya sekira 20 sampai 25 orang. Kelompok "Melehoy913" ini ingin menunjukkan eksistensi mereka dengan mengajak tawuran.
Dalam penyelidikan diketahui, SP dan DJ merupakan dua pelaku yang menyebabkan tewasnya pedagang pecel lele. Pedagang ini mencoba melerai para remaja itu untuk melintasi kawasan permukiman warga.
"Kejadiannya, Alfi sebagai warga dan juga penjual pecel lele melarang dan melerai. Ternyata, dia jadi salah satu korban meninggal karena sabetan celurit di punggungnya dan tidak tertolong sehingga meninggal," kata Heru.
Dia memaparkan, polisi telah mengincar kelompok "Melehoy 913" tiga hari sebelum terjadinya tawuran di Cempaka Putih. Pada Jumat (14/2), kelompok ini berencana tawuran, tapi karena ada polisi sehingga dibatalkan.
Polisi juga tetap berjaga di sekitar lokasi tawuran pada Sabtu (15/2) malam hingga Ahad (16/2) pukul 02.00 WIB. Saat patroli sudah berakhir dan tidak ada petugas keamanan, para remaja itu kembali melakukan aksi tawuran.
Salah satu pelaku yang berinisial RM mengaku, tawuran itu terjadi berdasarkan kesepakatan dua kelompok, yaitu "Melehoy 913" dari Cempaka Putih dan Kelompok APRAN dari Depok. Kesepakatan itu dilakukan melalui media sosial Instagram.
"Dia (korban luka) itu nantangin. 'Yakin saya dia anak APRAN'. 'Anak APRAN ada yang DM ngajak ribut'," kata RM saat ditanyai oleh Heru mengenai alasannya melakukan penyerangan terhadap warga.
Heru mengatakan, para pelaku tawuran yang masih berstatus remaja itu memang aktif menggunakan media sosial untuk berkomunikasi. Heru mengatakan, berdasarkan hasil penyelidikan yang didapat dari dua buah ponsel pintar milik dua orang pelaku ditemukan sebuah grup percakapan yang berisi aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok pemuda itu.
Heru menambahkan, masih melakukan penyelidikan lebih lanjut dengan barang bukti ponsel pintar milik para pelaku yang saat ini berjumlah tujuh orang. "Yang jelas kita akan lebih intens lagi karena kelompok ini cukup meresahkan. Siapa tahu bisa kita kejar sampai paling akhirnya," ujar Heru.
Pihaknya saat ini juga masih melakukan pengejaran terhadap otak utama dari tawuran Cempaka Putih yang dimotori oleh kelompok Melehoy 913. "Pelaku utama masih kita cari, masih residivis. Mudah-mudahan dalam beberapa waktu dekat, bisa kita temukan,” ujar Heru.
Diperbanyak
Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi atau yang kerap disapa Kak Seto menyarankan pemerintah agar membuat atau memperbanyak gelanggang remaja untuk mencegah anak berperilaku menyimpang. Menurut dia, gelanggang remaja semacam youth center atau pusat kepemudaan merupakan lokasi di mana anak-anak bisa secara bebas dan berkreasi menyalurkan bakat mereka.
Alasannya, tidak semua anak dilahirkan berprestasi dalam bidang akademik dan bisa unggul pada sektor lain. Gelanggang remaja tersebut juga harus didesain murah meriah agar semua anak dari berbagai kalangan bisa menikmati fasilitas ini.
"Dulu zaman Bang Ali Sadikin, ada gelanggang remaja atau youth center. Dinamika anak diarahkan, tidak semuanya bisa berprestasi di bidang akademik," ujar Kak Seto.
Perilaku menyimpang anak, kata dia, disebabkan oleh beragam faktor, di antaranya lingkungan dan media sosial. Meskipun ada pemidanaan, untuk efek jera harus dilakukan secara edukatif.
"Pemidanaan ini harus bersifat rehabilitasi anak supaya kembali ke jalan yang benar," kata dia.