Pertanyaan:
Assalaamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Saya memiliki niat untuk memberi tanda lokasi pada makam ayahanda, apakah yang seyogianya bisa saya lakukan?
Sebelumnya, saya sudah sempat membaca ini itu yang terkait hukum aturan tersebut. Namun, masih juga ditemukan banyak perbedaan pendapat.
Adapun pertanyaan selengkapnya dalam fatwa tersebut:
Mohon jawaban nanti dikaitkan dengan melihat makam KH Ahmad Dahlan. Apakah boleh untuk kami meniru kuburan KH Ahmad Dahlan seperti itu? Juga bagaimana penjelasannya tentang makam Nabi Muhammad saw yang juga berbentuk rumah?
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Yanuarten Budiman
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan Saudara. Perlu kami informasikan terlebih dahulu bahwa fatwa telah diterbitkan pada rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 24 tahun ke-92/2007. Tema serupa juga pernah dibahas dan diterbitkan pada Majalah Suara Muhammadiyah No 10 tahun ke-98/2013. Untuk lebih jelasnya kami akan uraikan kembali isi beserta tambahannya sebagai berikut:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُلْحِدَ وَنُصِبَ عَلَيْهِ اللَّبِنُ نَصَبًا، وَرُفِعَ قَبْرُهُ مِنَ الأَرْضِ نَحْوًا مِنْ شِبْرٍ [رَوَاهُ إِبْنُ حِبَّان بِصَحِيْحِ إِبْنِ بَلْبَانَ: 602].
Dari Jabir bin Abdullah (diriwayatkan) bahwa Nabi saw dimakamkan dalam liang lahat, diletakkan batu nisan di atasnya, dan kuburannya ditinggikan dari permukaan tanah setinggi satu jengkal [HR Ibn Hibban bi shahiihi Ibnu Balban No. 602].
Kata al-labin menurut kamus al-Munawwir adalah batu bata dan batu merah, sedangkan dalam kamus al-Munjid memiliki arti sesuatu yang berbahan keras.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبْنَى عَلَى اْلقَبْرِ أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ أَوْ يُجَصَّصَ، زَادَ سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى أَوْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ [رَوَاهُ النَسَآئِى كِتَابَ الجَنَائِزِ جـ 4: 86].
Dari Jabir (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah SAW melarang dibangun suatu bangunan di atas kubur, atau ditambah tanahnya, atau diplester. Sulaiman ibn Musa menambah: Atau ditulis di atasnya [HR. an-Nasai, Kitab al-Jana’iz, Juz IV: 86].
Mayoritas ulama dalam kitab Minhajul Muslimin berpendapat bahwa memberikan penanda (nisan) pada kuburan adalah boleh, yang tidak boleh adalah penanda yang bertuliskan puji-pujian atau hal semacamnya yang berlebihan (al-Jazairi, terj., Musthofa ‘Aini, Amir Hamzah Fachruddin, Kholif Muttaqin, 2014: 621). Pendapat tersebut berlandaskan kepada hadis Nabi Muhammad:
عَنِ الْمُطَّلِبِ قَالَ لَمَّا مَاتَ عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ أُخْرِجَ بِجَنَازَتِهِ فَدُفِنَ أَمَرَ النَّبِىُّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- رَجُلاً أَنْ يَأْتِيَهُ بِحَجَرٍ فَلَمْ يَسْتَطِعْ حَمْلَهُ فَقَامَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وَحَسَرَ عَنْ ذِرَاعَيْهِ – قَالَ كَثِيرٌ قَالَ الْمُطَّلِبُ قَالَ الَّذِى يُخْبِرُنِى ذَلِكَ عَنْ رَسُولِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ – كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ ذِرَاعَىْ رَسُولِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حِينَ حَسَرَ عَنْهُمَا ثُمَّ حَمَلَهَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَأْسِهِ وَقَالَ أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِى وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِى [رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ: 3206].
Dari Muthalib (diriwayatkan) ia berkata: Tatkala Utsman bin Madz’un meninggal, jenazahnya dikeluarkan untuk dikuburkan, kemudian Nabi Muhammad SAW memerintahkan seorang laki-laki untuk meletakkan batu di atas kuburannya. Namun, ternyata lelaki itu tidak mampu untuk membawanya, maka Nabi beranjak untuk meletakkannya–Nabi mengukurnya dengan panjang dua kali tulang hastanya- Berkatalah kebanyakan bahwa al-Muthallib mengatakan telah mengabarkanlah kepadaku seseorang tentang yang demikian itu dari Rasulullah SAW, seseorang itu berkata, ‘Seakan-akan aku melihat putihnya kedua tulang hasta Rasulullah ketika beliau sedang merenggangkan keduanya kemudian membawanya dengan meletakkan di atas kepalanya dan beliau bersabda, “Aku memberi tanda pada kuburan saudaraku dengan batu ini, dan aku kuburkan di dekatnya orang yang wafat dari keluargaku” [HR. Abu Dawud: 3206].
Perlu dipahami bahwa pada fatwa sebelumnya seperti pada link website yang Saudara maksud, menulis nama, tanggal lahir dan tanggal wafat pada kuburan seharusnya ditinggalkan karena termasuk larangan dalam ajaran Islam. Namun, setelah dilakukan kompromi berdasarkan hadis-hadis dan pendapat ulama yang telah disebutkan di atas, menulis nama, tanggal lahir dan tanggal wafat pada kuburan boleh dilakukan. Kebolehan ini sekadar untuk mengingat dan memberi tanda siapa yang dikubur di bawahnya sehingga keluarga dapat menziarahi dengan mudah, jangan sampai dilakukan secara berlebihan.
Adapun mengenai doa-doa untuk mayit, maksudnya bukan untuk dituliskan pada batu nisan, melainkan dibaca secara langsung di samping kuburnya ketika berziarah. Hal ini seperti disebutkan dalam firman Allah:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang” [QS. al-Hasyr (): 10]
Mendoakan orang yang telah meninggal adalah dianjurkan, baik doa anak untuk orangtuanya, doa seorang muslim untuk kerabat atau keluarganya maupun doa seorang Muslim untuk sesama Muslim.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ. [رَوَاهُ مُسْلِمٌ: 2289, إِبْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ: 11764].
Dari Jabir (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menyemen kuburan, duduk di atasnya atau membangun sesuatu di atasnya [HR. Muslim: 2289, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushanaf: 11764].
Berkaitan dengan pemberian bangunan pada kuburan dilihat dari uraian hadis di atas serta penjelasan dalam Fatwa Tahun 2007 seperti yang dimaksud di atas, adalah jelas tidak boleh. Pemberian bangunan di sini tidak mesti berbentuk rumah atau semacamnya. Namun, segala tambahan bangunan baik bangunan sempurna atau tidak sempurna. Oleh karena itu, membina atau mengeramik kubur termasuk atau tergolong mendirikan tembok-tembok di atas kubur sebagaimana yang dilarang oleh Rasulullah SAW.
Seiring berjalannya waktu, jumlah orang yang meninggal dunia akan terus bertambah di samping juga pertumbuhan masyarakat yang juga melonjak. Lahan untuk pemakaman pun menjadi berkurang bahkan mungkin akan habis.
Syariat Islam memberi ketentuan dengan tidak membolehkan adanya pembangunan pada kuburan akan sangat memecahkan permasalahan ini, yakni apabila sekiranya tidak ada lahan lagi untuk makam, kuburan yang telah lama dapat ditumpuk dengan kuburan yang baru. Akan tetapi, dalam hal penumpukan kuburan tersebut harus ditinjau dari beberapa aspek; aspek berbudaya dan beragama. Daerah yang memiliki lahan luas akan masih sangat memungkinkan untuk menguburkan jenazah satu persatu, sedangkan pada daerah yang padat penduduknya akan efektif apabila dilakukan penumpukan kuburan. Aspek maslahat ini tentu didapatkan dengan merujuk pada aspek beragama, yakni mengamalkan hadis Nabi SAW.
عَنْ ثُمَامَةَ بْنَ شُفَيَّ قَالَ كُنَّا مَعَ فَضَالَةِ بْنِ عُبَيْدٍ بِأَرْضِ الرُّومِ بِرُوْدِسَ فَتُوُفِّيَ صَاحِبٌ لَنَا، فَأَمَرَ فَضَالَةُ بْنَ عُبَيْدٍ بِقَبْرِهِ فَسُوِّيَ، ثُمَّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِتَسْوِيَتِهَا [1َوَاهُ مُسْلِمٌ: 968].
Diriwayatkan dari Tsumamah bin Syufayya, ia berkata: “Kami bersama Fadlalah bin ‘Ubaid di Negeri Rum, di Rudisa, kemudian teman kami wafat. Lalu Fadlalah bin ‘Ubaid menyuruh menguburnya dan meratakannya. Kemudian dia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW menyuruh supaya meratakannya” [HR. Muslim 968].
Adapun kebolehan meninggikannya dengan ukuran maksimal satu jengkal dikuatkan dengan hadis berikut:
عَنْ سُفْيَانَ التَّمَّارِ أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ رَأَى قَبْرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسَنَّمًا [رَوَاهُ البُخَارِي: 103].
Dari Sufyan at-Tamari, bahwa beliau melihat makam Nabi saw dalam bentuk gundukan [HR. al-Bukhari 2/103].
Adapun tentang kuburan KH. Ahmad Dahlan sebagaimana terdapat pada gambar tersebut, menurut hemat kami tidak termasuk dalam larangan bentuk kuburan seperti dalam keterangan hadis di atas. Penambahan semen pada sisi kuburan dengan tujuan sebagai batas agar tidak terinjak-injak oleh peziarah dan tanah yang ada di sekitarnya tidak larut terbawa air hujan. Ketinggian kuburnya pun tidak melebihi dari ukuran sejengkal. Pemberian tanda nama dan identitas lain pun juga tidak dibuat secara berlebihan. Apalagi, beliau seorang pahlawan nasioal yang sangat patut diteladani perjuangannya pada masa lalu.
Mengenai makam Nabi Muhammad SAW, keadaan makamnya yang asli dapat ditemukan pada zaman sahabat dan tabiin. Makam beliau tidak dikijing, terlihat gundukan tanahnya, dan tidak ditinggikan melebihi gundukan tanah normal umumnya kuburan seperti halnya hadis yang telah kami sebutkan di atas.
Sementara, kondisinya saat ini, makam Nabi Muhammad saw telah menggunakan kubah hijau juga beserta tambahan-tambahan lainnya bahkan banyak foto yang disebut sebagai makam Nabi Muhammad SAW beredar di kalangan luas dengan berbagai kejanggalannya, seperti menggunakan peti, dindingnya berwarnakan emas dan masih banyak lagi yang sejatinya foto itu bukanlah makam Nabi Muhammad saw. Namun, perlu diketahui bahwa perubahan pada makam Nabi SAW terjadi setelah kurun masa sahabat dan tabiin, sehingga tidak dapat dijadikan dalil untuk membolehkan membuat kubur seperti itu.
Berkenaan dengan ketentuan pembangunan pada kuburan dalam Islam dapat berlaku berbeda terhadap kuburan Rasulullah SAW, khusus untuk makam Rasulullah maka pembongkaran tidak akan pernah terjadi. Hal ini dikarenakan terdapat maslahat yang harus dipertahankan, yakni makam beliau menjadi penguat iman bagi kaum Muslimin dan sebagai bukti sejarah bahwa Rasulullah SAW benar-benar ada bagi orang-orang kafir yang selalu meragukannya. Meskipun begitu tidaklah diperbolehkan pengkultusan bagi makam Nabi Muhammad SAW.
Inilah antara lain yang menjadi pertimbangan bagi negara Arab Saudi. Arab Saudi melalui banyak buku giat mendakwahkan kuburan tidak boleh dibuat kijing dan tidak boleh ditinggikan, namun kenyataannya kubah hijau tidak kunjung dipugar. Hal ini karena makam Nabi Muhammad saw bukan semata menjadi kepentingan Arab Saudi, tetapi menjadi kepentingan jutaan umat Islam di seluruh dunia. Bisa jadi akan timbul permasalahan di masjid Nabawi, ketika Pemerintah Arab Saudi memugar kubah hijau tersebut.
Wallahu a’lam bishawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 13 Tahun 2016