Selasa 03 Mar 2020 00:18 WIB

Isi Surat Keberatan Kompol Rosa untuk Jokowi

Mantan penyidik KPK Kompol Rosa Purbo Bekti tidak puas dengan jawaban pimpinan KPK.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Presiden Joko Widodo bersiap memimpin rapat kabinet terbatas (ratas) di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (28/2/2020).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Presiden Joko Widodo bersiap memimpin rapat kabinet terbatas (ratas) di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (28/2/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak terima dengan jawaban pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas surat keberatannya, Kompol Rosa Purbo Bekti mengajukan 'banding' ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Surat upaya banding berupa "Permohonan Upaya Administratif Berupa Banding atas Pemberhentian dengan Hormat Pegawai Negeri yang Dipekerjakan pada Komisi Pemberantasan Korupsi atas Nama Purbo Bekti".

Dalam salinan surat yang diterima Republika, alasan yang Rosa ajukan ke Presiden Jokowi lantaran Rosa menduga adanya mutasi sepihak pimpinan KPK karena dirinya ikut berperan dalam proses operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang dilakukan pada Awal Januari lalu. Diketahui, dalam tangkap tangan tersebut Komisi Antirasuah menetapkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan salah satu calon anggota legislatif PDI Perjuangan Harun Masiku sebagai tersangka.

Baca Juga

“Pemohon dikeluarkan tepat setelah pemohon menangani kasus strategis yang mendapatkan perhatian pada tingkat nasional sehingga berpotensi pemberhentian pemohon terkait penanganan kasus tersebut,” tulis Rosa dalam surat bandingnya.

Dalam surat tersebut, Rosa menuliskan seharusnya penangkapan tersebut diapresiasi karena merupakan pencapaian untuk mengatasi korupsi politik yang menjadi salah satu prioritas KPK. Karena, korupsi politik salah satu penyebab mahalnya biaya demokrasi di Indonesia.

“Bahwa alih-alih mendapat apresiasi, pemohon malah dikembalikan ke Kepolisian serta diberhentikan sejak 1 Februari 2020,” ujar Rosa.

Masih dalam surat permohonannya, Rosa menilai proses pengembalian dirinya ke institusi Polri terdapat banyak kejanggalan. Hal tersebut lantaran tidak ada permintaan dirinya untuk kembali ke Kepolisian, karena masa tugasnya di KPK hingga 23 September 2020 yang kemudian bisa diperpanjang sampai 2026. Rosa pun menegaskan tidak pernah menerima sanksi apa pun dari KPK atas pelanggaran etik.

“Penarikan secara tiba-tiba dapat menjadi preseden dan menyebabkan dampak lanjutan secara psikologis bagi penegak hukum dari Kejaksaan, Kepolisian, dan PNS yang selama ini ada di KPK untuk tidak dapat bertindak secara independen ke depan. Ancaman, teror, dan tidak adanya perlindungan bagi para petugas penegak hukum tersebut dapat menjadikan independensi para pegawai KPK hilang dalam melaksanakan pekerjaannya di lapangan,” tulis Rosa.

Dalam permohonan bandingnya, Rosa juga menyertakan surat perihal pembatalan penarikan dirinya ke institusi Polri pada 21 Januari 2020. Rosa menilai pemulangan dirinya ke institusi Polri tanpa persetujuan instansi asal dan tanpa evaluasi.

“Surat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: R/21/l/KEP./202O tanggal 21 Januari 2020 kepada Pimpinan KPK perihal Pembatalan penarikan penugasan anggota Polri karena Kompol Rosa Purbo Bekti ternyata baru berakhir masa penugasannya tanggal 23 September 2020. Yang ditandatangani oleh Komjen Gatot Eddy Pramono selaku Wakapolri atas nama Kapolri. Hal tersebut untuk mengkoreksi surat sebelumnya Surat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor; R/32/l/KEP./2020 tanggal 13 Januari 2020,” tulis Rosa.

Oleh karena itu, dalam pokok permohonan bandingnya, Rosa menilai surat pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor B/836/ KP. 03/01/02/2020 tentang Tanggapan Atas Keberatan 20 Februari 2020 untuk dibatalkan dan tidak berlaku.

Dia pun memohonkan, agar Surat Keputusan Sekretaris Jenderal Nomor 123 tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Hornat Pegawai Negeri yang Diperkerjakan Pada Komisi Pemberantasan Korupsi atas nama pemohon untuk dibatalkam dan tidak berlaku.

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk memulihkan posisi pemohon ke keadaan semula sebagai penyidik KPK dengan menerbitkan Surat Keputusan pengangkatan Rosa Purbo Bekti atau pemohon sebagai penyidik KPK dengan posisi jabatan, grading serta hak dan kewajiban sebagaimana semula sebelum adanya Keputusan Pemberhentian Surat Keputusan Sekretaris Jenderal Nomor 123 2020 tentang Pemberhentian Dengan Hormat Pegawai Negeri yang Dipekerjakan Pada Komisi Pemberantasan Korupsi atas nama pemohon,” masih tulis Rossa.

Surat permohonan banding ditandatangani oleh Rosa Purbo Bekti selaku pemohon dengan tembusan Menkopolhukam RI, Ombudsman RI, Pimpinan KPK, Dewan Pengawas KPK, Kapolri, Kabareskrim Polri, As SDM Polri, dan Kadiv Propam Polri. Sebelumnya, Plt Jubir KPK Bidang Penindakan, Ali Fikri membenarkan bahwa setelah mendapatkan penolakan dari pimpinan KPK, Rossa langsung mengajukan banding ke Presiden Jokowi.

"Jadi, Mas Rossa sudah terima jawaban dari pimpinan, kemudian berikutnya Mas Rossa mengajukan kembali upaya banding ke Presiden RI [Joko Widodo]. Karena memang mekanisme UU-nya demikian, per tanggal 24 Februari 2020," kata Ali.

Ali mengatakan, KPK menghormati langkah yang ditempuh mantan pegawai lembaganya tersebut. Sebab, menurut dia, hal itu sesuai dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

"Tentu, karena ini ketentuan UU yang ada bahwa setiap masyarakat di sana disebutkan, termasuk Mas Rossa merasa harus perjuangkan haknya, tentu kita harus hormati proses tersebut," ucapnya.

KPK sebelumnya memutuskan bahwa surat keberatan Rosa salah alamat. Lembaga antirasuah itu meyakini Rosa berstatus sebagai anggota Polri yang secara hukum kepegawaian dan pembinaan kariernya masih melekat dan tetap tunduk kepada sistem kepegawaian anggota Polri.

"Pada prinsipnya berisi bahwa keberatan dari Mas Rosa tersebut tidak dapat diterima karena di sini disebutkan salah alamat," ujar Ali.

Pengembalian Rosa ke instansi asalnya, Mabes Polri, sempat menuai polemik. Bahkan, Wadah Pegawai KPK telah melaporkan Firli Bahuri dkk ke Dewan Pengawas KPK.  Ketua WP KPK, Yudi Purnomo Harahap, menuturkan bahwa terdapat dugaan tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur dan berpotensi melanggar etik terhadap pengembalian Rossa.

Yudi menilai pengembalian itu tidak sesuai mekanisme yang berlaku. Pasalnya, menurut Yudi, masa bakti Rossa di KPK habis pada September 2020. Rosa, kata Yudi, juga tidak pernah dinyatakan melakukan pelanggaran etik yang notabene menjadi unsur pengembalian paksa ke instansi asal.

"Bahwa terdapat dugaan tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur dan bahkan berpotensi melanggar etik khususnya jaminan agar KPK dapat menjalankan fungsi secara independen," kata Ketua WP KPK, Yudi Purnomo Harahap.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement