REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasar sukuk korporasi dinilai masih belum matang dibandingkan instrumen surat utang lain, baik obligasi maupun Medium Term Note (MTN). Presentasenya yang jauh lebih kecil menjadi imbas karena kurang literasi.
Manager Divisi Riset Ekonomi Pefindo, Fikri C Permana menyayangkan ketertinggalan sukuk korporasi karena kurangnya literasi. Baik itu di sisi market penyerap maupun emiten penerbit.
"Sayang saja, negara penduduk muslim terbesar tapi instrumen syariahnya kurang berkembang," kata dia pada Republika.co.id, Kamis (5/2).
Fikri juga menyampaikan perlunya menciptakan permintaan terhadap instrumen. Karena jika melihat emiten-emiten syariah di pasar saham, hampir semua sektor perusahaan prospektif untuk menerbitkan sukuk.
Menurutnya, yield atau kupon menjadi faktor utama penentu sebuah emiten tertarik terbitkan sukuk. Terlebih untuk korporasi yang berperingkat baik. Ini hampir sama halnya dengan obligasi atau MTN konvensional.
"Mungkin bisa mendapatkan cost of fund atau yield yang lebih baik jika dibanding sumber pendanaan lain," katanya.
Instrumen sukuk juga sebenarnya memiliki basis investor yang luas. Tidak seperti obligasi yang tidak bisa dibeli investor syariah. Sukuk bisa dibeli oleh investor syariah maupun konvensional.
Namun, Fikri menilai literasi basis investor tersebut perlu diperluas, sekaligus literasi terkait. Ia meyakini peningkatan literasi akan meningkatkan portofolio sukuk korporasi, meski tetap perlu waktu yang lebih matang.
Menurut statistik mingguan Pasar Modal OJK, total emisi obligasi korporasi tahun 2019 tercatat Rp 110,4 triliun sementara sukuk korporasi hanya sebesar Rp 12 triliun. Selama 2020 hingga Februari, emisi obligasi sebesar Rp 400 miliar dan sukuk korporasi nol.