REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, anjloknya harga minyak dunia berpotensi menjadi stimulus bagi ekonomi Indonesia, terutama dari sisi impor migas. Beban anggaran pemerintah untuk biaya impor mungkin saja turun dengan tren ini.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negaa (APBN) 2020, asumsi harga minyak mentah ditetapkan sebesar 63 dolar AS per barel. Sedangkan, berdasarkan data Bloomberg pada pukul 08.00 WIB Senin (9/3), harga minyak Brent untuk kontrak Mei 2020 turun 20,52 persen ke level 35,97 dolar AS per barel. Sedangkan harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak April 2020 anjlok 20,49 persen ke level 32,82 dolar AS per barel.
Bagi Indonesia, Sri menjelaskan, nilai impor minyak mentah memang cukup besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), besarannya pada Januari mencapai 514 juta dolar AS atau 3,6 persen dari total impor saat itu yang sebesar 14,27 miliar dolar AS.
Sri mengatakan, penurunan harga minyak menjadi indikator akan adanya tren penurunan beban PT Pertamina (Persero), pihak yang mengimpor minyak mentah. "Saya harap ini akan terlihat dari neraca Pertamina," ujarnya ketika ditemui di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (9/3).
Tapi, Sri masih belum bisa memetakan seberapa besar penurunan beban pemerintah. Sebab, besarnya dampak tren penurunan harga minyak dunia kepada Indonesia harus dilihat secara jangka waktu. Apakah hanya bersifat jangka pendek, yang berarti dalam hitungan bulanan akan kembali ke normal, atau justru agak lebih panjang, yaitu hitungan kuartalan hingga semesteran.
Sri menilai, penentuan jangka waktu itu harus dilihat dari reaksi Rusia terhadap langkah Arab Saudi yang berani dan terbilang mengagetkan. Yaitu, memberikan potongan harga minyak lebih dalam, sehingga terjadi perang harga.
"Kita masih harus lihat seluruh perkembangan. Saya tidak mau melihat dengan sepenggal-sepenggal," ujar mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.
Sri memastikan, dinamika dari harga minyak dan pasar minyak dunia ini menjadi salah satu poin yang diperhatikan pemerintah secara serius. Kegagalan dua produsen terbesar minyak dunia, yaitu Arab Saudi dan Rusia, untuk mencapai kesepakatan dalam mengurangi produksi menjadi faktor penyebabnya.
Diketahui, Arab Saudi menolak keras usulan pengurangan produksi oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Arab Saudi bahkan ingin meningkatkan produksi lebih dari 10 juta barel per hari (bph) pada April dengan potongan harga untuk semua kadar minyak mentah dan semua tujuan. Harga yang ditawarkan mulai dari 6 dolar AS hingga 8 dolar AS per barel.
Langkah Arab Saudi merupakan respons setelah kesepakatan pembatasan produksi antara OPEC dan Rusia atau disebut sebagai OPEC + berakhir pada Maret. "Ini yang menyebabkan harga (minyak mentah dunia) turun," ucap Sri.