REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Dinas Kesehatan Kota (Dinkes) Kota Bogor mencatat telah ada 4 korban jiwa dalam Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Bogor. Jumlah itu berasal dari 120 kasus DBD sejak Januari hingga Maret 2020.
"Ada beberapa laporan yang meninggal ya. Untuk Januari ada satu orang, Februari satu orang, Maret dua orang. Jadi total ada empat kematian 2020,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor Sri Nowo Retno di Balai Kota Bogor, Selasa (10/3).
Retno menjelaskan, empat korban meninggal tersebut rata-rata berusia 4-5 tahun yang tersebar di sejumlah wilayah. Kasus pertama, menimpa bayi di Balungbangjaya, Kecamatan Bogor Barat yang meninggal di Rumah Sakit (RS) Marzuki Mahdi.
Kasus kedua, sambung Retno berasal dari Sempur yang meninggal di RS Palang Merah Indonesia (PMI). "Kasus ke tiga meninggal RS UMMI warga sempur pada Bulan Maret. Satu lagi RS Juliana warga Harjasari (Bogor Selatan)," jelasnya.
Retno merinci angka kematian tersebut berasal dari banyaknya kasus yang berbeda. Pada Januari 2020 yang mengakibatkan satu meninggal dunia terjadi sebanyak 43 kasus DBD.
Februari sebanyak 66 kasus DBD yang mengakibatkan satu meninggal dunia. Sedangkan, pada bulan Maret hanya ada 11 kasus yang mengakibatkan dua bayi yang meninggal dunia.
Retno menjelaskan bayi yang meninggal dunia lantaran mengalami dengue shock syndrome (DSS). "Diagnosa terakhir sih DSS ya. Itu tahapan lanjut (DBD)," tutur dia.
Kendati begitu, Retno menyatakan, kasus DBD cenderung mengalami penurunan dibandingkan tahun 2019 dari Januari hingga Maret. Januari 2019, kata Retno, sebanyak 155 kasus DBD yang merenggut tiga nyawa.
Sedangkan, pada Februari 2019 sebanyak 162 kasus DBD yang mengakibatkan lima meninggal dunia. "Dan dua kematian pada Maret dari 92 kasus DBD. Jadi total 10 yang meninggal," kata Retno.
Dengan adanya kasus tersebut, Retno meminta agar masyarakat tidak hanya berkonsentrasi pada virus corona atau Covid-19. Pasalnya, dia menegaskan, DBD juga sangat berbahaya bagi bayi hingga mengakibatkan meninggal dunia. "Mulai sekarang kita jangan tertutup oleh isu Covid-19 karena DBD juga berbahaya,” jelas dia.
Retno mengakui, DBD di Kota Bogor sudah menjadi endemik. Sehingga, dia meminta agar masyarakat juga tetap waspada terhadap penyebaran DBD. "Penyebarannya masih mengamati di wilayah mana saja. Kalau berkaca tahun lalu itu dari Bogor Selatan dan Bogor Barat ya," jelas dia.
Hari pertama, dia menjelaskan, gejala DBD mirip dengan penyakit pada umumnya. Sehingga, DBD tidak dapat langsung dideteksi. Karena itu, dia meminta agar warga segera melakukan cek laboratorium. "Kalo panas hari ketiga tidak turun pasti kita sarankan cek lab untuk melihat trombositnya," kata dia.
Hari berikutnya, sambung Retno, pemantauan terhadap pasien harus ditingkatkan. Pasalnya, hari tersebut pasien memasuki masa yang kritis dan krusial. "Keadaan seperti itu dibarengi dengan kurangnya cairan yang masuk menyebabkan dia DSS,” kata dia.
Kedepannya, dia mengatakan, akan meningkatkan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Sehingga, DBD dapat diminimalisir. "Kemarin sudah dimulai dari tingkat Kecamatan dan Puskesmas," jelasnya.
Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim mengatakan telah menerima laporan adanya dua korban meninggal dunia akibat DBD. Demikian, Dedie mengungkapkan, tidak harus meningkatkan status kejadian luar biasa (KLB) di Kota Bogor. Sebab, jika dibandingkan tahun lalu, DBD tahun ini masih cenderung lebih rendah.
Adanya dua kasus tersebut, Dedie menyatakan, akan segera ditindaklanjuti untuk melakukan koordinasi dengan camat dan lurah. Dedie mengatakan, akan terus berupaya untuk melakukan pencegahan penambahan DBD di Kota Bogor.
Dedie meminta masyarakat untuk mewaspadai penyakit DBD. Dedie menghimbau agar masyarakat selalu menjaga kebersihan di lingkungan sekitar rumah dan menerapkan pola hidup bersih dan sehat.
"Diinstruksikan kepada camat serta lurah untuk melaksanakan koordinasi melaksanakan pemantauan lebih intensif bagi jumantik agar menerapkan langkah 3M, menguras, mengubur dan membersihkan genangan air," ujar Dedie.