Jumat 13 Mar 2020 22:42 WIB

Bagaimana Seorang Muslim dalam Menyikapi Mimpi? (1)

Mimpi buruk sebaiknya tidak diceritakan.

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Muhammad Hafil
Bagaimana Seorang Muslim dalam Menyikapi Mimpi?. Foto: Mimpi Buruk. Ilustrasi(CNN)
Foto: CNN
Bagaimana Seorang Muslim dalam Menyikapi Mimpi?. Foto: Mimpi Buruk. Ilustrasi(CNN)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Kedudukan mimpi bagi seorang Muslim, tak sekadar buah tidur. Lebih dari itu, kategori mimpi-mimpi tertentu dianggap sebagai sebuah pemberitaan yang diberikan langsung oleh Allah SWT kepada hamba-Nya. Lantas, bagaimanakah menyikapi mimpi, baik jenis mimpi yang baik atau buruk?

Syekh Abdul Aziz bin Fathi as- Sayyid Nada dalam Ensiklopedi Adab Islam Menurut Alquran dan as-Sunnah menjelaskan, Islam mem berlakukan adab menyikapi mimpi. Hal ini menunjukkan bukti agung bahwa agama yang dibawa oleh Rasulullah tersebut memiliki dimensi universal dan integral. Islam mencakup semua perkara du nia dan akhirat.

Adab secara umum yang disampaikan oleh Syekh Nada menyikapi mimpi, di antaranya, ialah tidak sembarangan menceritakan mimpi. Kecuali kepada sosok yang dianggap kredibel seperti ulama atau penasihat. Dalam sebuah riwayat ad- Darimi dari Abu Hurairah ditegaskan bahwa Rasulullah melarang mengisahkan mimpi kecuali pada seorang alim dan orang yang dianggap mampu memberikan nasihat.

Langkah berikutnya yang penting juga diperhatikan ialah tidak gegabah menakwilkan mimpi. Lebih baik seseorang menunggu hingga benar-banar mengetahui dan menaf sirkannya dengan sebaik-baik penafsiran. Hal ini dilakukan kare na bisa jadi mimpi tersebut akan terjadi sesuai dengan yang ditafsirkan, kecuali Allah menghendaki berbeda.

Riwayat dari Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Razin menggarisbawahi hal itu. Disebutkan bah wa mimpi itu berada di kaki burung selama tidak ditawilkan. Maka jika ditakwilkan, niscaya ia akan terjadi. Rasulullah pun meminta agar tidak menceritakanya kecuali pada golongan-golongan yang tepercaya dan terjamin kualitas keilmuan dan pribadinya.

Syeh Nada menambahkan, hendaknya tidak berlebihan menceritakan mimpi. Apalagi sampai ber dus ta dan mendramatisirnya. Misalnya, ia mengklaim melihat perkara agung, padahal hal itu sama sekali tidak terdapat dalam mimpinya. Menurut sebagian ulama, tindakan semacam ini termasuk kategori dosa.

Hadis riwayat Bukhari dari Watsilah menyebutkan, ada tiga bentuk kebohongan besar yaitu laki-laki yang menisbatkan identitasnya ke pada selain ayah kandungnya, men ceritakan mimpi yang tidak pernah dilihtnya, dan mengucapkan atas nama Rasulullah apa yang tidak pernah diucapkan.

Syeh Nada memaparkan lebih jauh bagaimana sepatatunya se orang Muslim berhadapan dengan mimpi baiknya. Menurutnya, sikap pertama yang mesti ditunjukkan ialah rasa syukur atas mimpi baik yang ia terima. Mimpi yang baik pada dasarnya berasal dari Allah. “Jika salah seorang di antara kalian bermimpi sesuatu yang ia sukai, sesungguhnya itu berasal dari Allah, maka hendaklah ia memuji-Nya dan menceritakan mimpi itu.” (HR. Bukhari dari Abu Sa’id Al Khudri)

Menurut Syekh Nada, hendak nya mimpi baik itu ditasfirkan dengan sebaik-baik penafsiran. Hal ini sedikit banyak akan membantu me lapangkan dada siempunya mimpi. Sebuah hadis dari Abu Hurairah menyebutkan anjuran itu, yaitu bila melihat mimpi baik maka sebaiknya ia menafsirkannya dan menceritakannya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement