Senin 16 Mar 2020 20:18 WIB

Sejak Kapan Sifat Fathanah Dilekatkan kepada Rasulullah SAW?

Rasulullah SAW mempunyai empat sifat wajib sebagai nabi dan Rasul.

Red: Nashih Nashrullah
Rasulullah SAW mempunyai empat sifat wajib sebagai nabi dan Rasul. Rasulullah SAW (ilustrasi)
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Rasulullah SAW mempunyai empat sifat wajib sebagai nabi dan Rasul. Rasulullah SAW (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, * Nurman Kholis 

Pencantuman kata fathanah yang menjadi rangkaian dari sifat para Rasul belum diketahui secara lebih jelas sejak kapan muncul hingga tersebar di kalangan umat Islam. Sebab, pada mulanya para ulama terdahulu memperkenalkan sifat para Rasul itu hanya tiga yaitu shiddiq, amanah, dan tabligh tanpa menyebutkan sifat fathanah.

Baca Juga

Hal ini dapat diketahui berdasar tahun wafat para penulis kitab-kitab tauhid yang tersebar di nusantara. Berdasarkan penelusuran penulis secara singkat, Abu Abdillah Muhammad Ibn Yusuf Al Sanusi (wafat 895 H/1490 M) merupakan ulama yang lebih dulu memperkenalkan sifat wajib bagi para Rasul.

Ulama asal Maroko yang dikenal Imam Al Sanusi ini dalam kitab Umm Al Barahin menuliskannnya hanya tiga sifat, yaitu siddiq, amanah, dan tabligh. Penambahan fathanah muncul dalam kitab Kifayah Al 'Awam karangan Muhammad Bin Al Fadhdhali (wafat 1236/1821).

Salah seorang muridnya, Ibrahim Bajuri, menulis syarah atas kitab ini berjudul Tahqiq Al Maqam ala Kifayah Al 'Awam. Syarah kitab tersebut juga dihasyiyahkan Syekh Nawawi Al Bantani dalam kitab Tijan Ad Daraari.

Dengan demikian, sejak abad ke-19, para ulama memperkenalkan sifat Rasul menjadi empat, yaitu siddiq, amanah, tabligh, dan fathanah (SATF). Urutan tersebut selanjutnya dibakukan dalam kitab-kitab tauhid yang diajarkan para kiai di pesantren-pesantren. Salah satunya dalam kitab Usuluddin karya pendiri Pesantren Gontor KH Imam Zarkasyi.

Penetapan siddiq (benar atau jujur) pada urutan pertama secara logis dapat dilihat dari perjalanan hidup Rasulullah SAW. Beliau selalu mengendalikan berbagai keinginan yang ada dalam dirinya sehingga tetap dalam kebenaran. 

Beliau berlaku siddiq dan menjaga amanah tidak hanya selama berdagang, namun juga dalam aktivitas lainnya.

Setelah terbiasa mengendalikan berbagai keinginan dalam dirinya sehingga dapat tetap dalam kebenaran (shiddiq) dan bersikap benar terhadap terhadap perintah yang datang dari luar dirinya (amanah), Rasulullah pun menyampaikan kebenaran yang ada dalam dirinya kepada orang lain (tabligh). Karena beliau terbiasa berbuat shiddiq, amanah, dan tabligh sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT, maka potensi kecerdasan (fathanah) yang memang telah ada sejak lahir semakin tergali dan semakin ditambah Allah SWT. 

Berkat fathanah Rasulullah SAW tersebut salah satunya yaitu berhasil menyelesaikan berbagai konflik pada masyarakat Arab hingga mereka dapat disatukan melalui Piagam Madinah. Fathanah sebagai buah dari shiddiq, amanah, dan tabligh ini juga sebagaimana yang diberikan oleh Allah kepada para ulama terdahulu yang datang ke nusantara.

Menurut Achadiati Ikram (1997: 137-143), ajaran Islam yang disebarkan oleh para ulama ke nusantara ini dalam berbagai bentuk penetrasinya benar-benar merupakan agama perdamaian. Islam diterima tidak hanya sebagai agama, tetapi juga dengan berbagai unsur bawaannya, antara lain, bahasa Arab dengan tulisannya, kesusastraan, serta adat istiadat tanah asalnya.

Namun, dalam abad ini umat Islam berpecah belah, terutama pada bangsa yang bahasanya digunakan dalam Alquran dan hadis, yaitu bangsa Arab. Mereka juga dilanda berbagai konflik, baik karena faktor internal maupun eksternal. Kondisi ini serupa dengan masyarakat jahiliyah

 

 

 

Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
قُلْ اَنَدْعُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَا لَا يَنْفَعُنَا وَلَا يَضُرُّنَا وَنُرَدُّ عَلٰٓى اَعْقَابِنَا بَعْدَ اِذْ هَدٰىنَا اللّٰهُ كَالَّذِى اسْتَهْوَتْهُ الشَّيٰطِيْنُ فِى الْاَرْضِ حَيْرَانَ لَهٗٓ اَصْحٰبٌ يَّدْعُوْنَهٗٓ اِلَى الْهُدَى ائْتِنَا ۗ قُلْ اِنَّ هُدَى اللّٰهِ هُوَ الْهُدٰىۗ وَاُمِرْنَا لِنُسْلِمَ لِرَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ
Katakanlah (Muhammad), “Apakah kita akan memohon kepada sesuatu selain Allah, yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak (pula) mendatangkan mudarat kepada kita, dan (apakah) kita akan dikembalikan ke belakang, setelah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan oleh setan di bumi, dalam keadaan kebingungan.” Kawan-kawannya mengajaknya ke jalan yang lurus (dengan mengatakan), “Ikutilah kami.” Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya); dan kita diperintahkan agar berserah diri kepada Tuhan seluruh alam,

(QS. Al-An'am ayat 71)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement