REPUBLIKA.CO.ID, NYON -- Federasi Sepak Bola Eropa (UEFA) telah mengambil langkah strategis guna menghadapi pandemi virus corona (covid-19) dengan menunda kompetisi sepak bola Eropa, tidak hanya di level klub, tapi juga di tingkat tim nasional. Penghentian Liga Champions dan Liga Europa kemudian diikuti dengan penundaan gelaran Piala Eropa 2020 selama satu tahun atau pada musim panas 2021.
Namun, dampak pandemi corona terhadap sepak bola Eropa tidak begitu saja berakhir. UEFA dihadapkan tantangan baru, terutama dari aspek finansial. Buntut penghentian sementara kompetisi dan penundaan Piala Eropa 2020 ternyata memiliki dampak terhadap neraca keuangan UEFA dan klub-klub di Benua Biru.
Penundaan Piala Eropa 2020 membuat UEFA merugi sekitar 300 juta euro. Angka kerugian ini meningkat 100 juta euro apabila UEFA membatalkan gelaran Piala Eropa 2020. Namun, masalahnya tidak berhenti sampai di situ. Sebagian besar uang yang dimiliki UEFA sebenarnya bukanlah milik UEFA.
Sekitar 85 persen pemasukan yang diterima UEFA akan langsung disalurkan ke klub-klub yang berpartisipasi di kompetisi Eropa dan asosiasi-asosiasi anggota lewat bentuk dana solidaritas sepak bola. Bahkan, dari semua pemasukan tersebut, hanya tiga persen dialokasikan untuk operasional organisasi yang bermarkas di Nyon, Swiss, tersebut.
Kini, dengan potensi kerugian mencapai 300 juta euro, ditambah potensi tuntutan dari pemegang hak siar terkait tidak terpenuhinya klausul kontrak, UEFA dituntut untuk bisa menyeimbangkan neraca keuangan pada tahun ini. Dalam ulasannya, jurnalis senior ESPN, Gabriel Marcotti, pun menganalogikan tantangan yang dihadapi UEFA saat ini.
''UEFA harus membagi kue yang sudah sangat kecil saat semua orang tengah lapar, atau bahkan kelaparan. Mereka harus membuat keputusan yang besar, termasuk dengan kemungkinan merogoh cadangan kas mereka, yang disebut mencapai setengah miliar dolar, atau melonggarkan kebijakan financial fair play,'' tulis Marcotti, Kamis (19/3).
Di sisi lain, ancaman kebangkrutan juga membayangi klub-klub Eropa. Kehilangan salah satu pemasukan terbesar lewat penjualan tiket membuat klub-klub mulai berpikir untuk merumahkan sejumlah pekerja-pekerja teknis. Kondisi ini banyak menimpa klub-klub kecil di kompetisi non-liga. Namun, ancamannya tidak hanya untuk klub-klub kecil.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pesepak Bola Profesional (FIFPro), Jonas Baer-Hoffman, menyatakan, penundaan kompetisi yang berlarut-larut akan membuat wajah industri sepak bola bisa berubah menjadi begitu buruk dengan sangat cepat. Klub-klub, kata Hoffmann, akan kesulitan untuk menjaga neraca keuangan tetap seimbang.
Apalagi, ujar Hoffmann, klub tidak memiliki cadangan kas yang cukup besar untuk menunjang operasional. Ujungnya, klub bereaksi dengan melakukan pengurangan pegawai.
''Kami harus mengantisipasi dampak sosial-ekonomi dari virus corona terhadap industri sepak bola. Jika kami tidak bertindak cepat untuk menyeimbangkan neraca keuangan ini, maka kami akan melihat PHK besar-besaran hanya dalam beberapa pekan mendatang.'' kata Hoffmann seperti dikutip BBC.
Bagaimanapun, klub-klub tetap membutuhkan dukungan dari badan regulator kompetisi ataupun otoritas tertinggi, dalam hal ini UEFA atau bahkan FIFA. Dukungan ini dapat berupa regulasi ataupun kucuran dana segar agar klub terhindar dari kebangkrutan di tengah masa-masa sulit ini.