REPUBLIKA.CO.ID, Ateisme sulit mendapat peminat di negeri ini. Negara Pancasila yang menempatkan Ketuhanan yang Maha Esa pada sila pertama ini membuat kaum ateis seolah tidak mendapat tempat di Tanah Air.
Meski demikian, survei Gallup yang dilakukan pada 2014 lalu menunjukkan, ada sekitar 15 persen responden asal Indonesia yang mengaku tidak religius sementara dua persen lainnya tidak masuk kategori apa pun. Dalam survei tersebut, sebanyak 82 persen warga Indonesia mengaku masih religus.
Ateisme punya jejak sejarah panjang di bumi ini. Di dalam literatur sejarah klasik, nama Baron d'Holbach mungkin tercatat sebagai filosof pertama yang mendeklarasikan diri sebagai tokoh yang tidak bertuhan. Pada tahun 1770, penulis berkebangsaan Prancis ini menerbitkan bukunya Systeme de la nature.
Dalam buku itu, d'Holbach menegaskan, hukum mekanis sebab akibat yang membangun sistem fisika dalam alam semesta, bukan diciptakan Tuhan. Dia pun menegaskan, Kekristenan dan agama lainnya bertentangan dengan kemajuan moral kemanusiaan.
Ateisme semakin populer saat Karl Marx, pelopor komunisme menerbitkan Das Capital pada 1867. Marx mengatakan, agama adalah candu bagi masyarakat karena membius mereka untuk tidak mengatasi kesulitan ekonominya. Hingga sekarang, komunisme dipraktikkan di beberapa negara seperti Rusia dan Cina.
Penciptaan
Islam sebagai agama penutup merupakan sebuah paham yang mengajarkan hakikat penciptaan. Allah Sang Maha Pencipta pun berfirman pertama kali kepada Muhammad. Memberi instruksi untuk membaca atas nama Tuhan yang Menciptakan. Tidak hanya itu, banyak ayat dalam Alquran yang mengurai hakikat penciptaan. Contohnya saja penciptaan manusia.
Dalam QS al-Mu'minun:14, Allah SWT berfirman: "Kemudian Kami jadikan nutfah (air mani) itu 'alaqah. Lalu, 'alaqah tadi Kami jadikan mudghah (segumpal daging)." Dokter Ibrahim B Syed dari Universitas Loisville, Kentucky, Amerika Serikat, mengungkapkan, 'alaqah dalam bahasa Arab memiliki dua pengertian. Pertama, sesuatu yang menempel dan menyangkut pada sesuatu yang lain. Kedua, alaqah berarti lintah.
Dibuktikan dalam dunia medis, penempelan menggambarkan terjadinya penyangkutan, kemudian menempel lantas tertanamnya blastosis (embrio setelah lima hari pascapembuahan) ke lapisan batas dinding rahim (endometrium). Embrio tersebut melekat di dinding endometrium dari uterus, dengan cara persis seekor lintah saat menempel di kulit manusia. Bagaimana Alquran bisa secara presisi menggambarkan proses alaqah yang bisa terbukti dalam ilmu pengetahuan modern saat ini?
Kebenaran Alquran lainnya terbukti beberapa tahun lalu. Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA mengambil gambar nebula menggunakan teleskop Hubble. NGC 6543, yang dijuluki 'Nebula Mata Kucing (cat eye nebula) diperkirakan baru berusia 1.000 tahun. Apabila perhatikan lebih lanjut, nebula ini lebih cocok disebut sebagai nebula mawar merah dari pada mata kucing.
Apa yang didapati oleh NASA ini sebenarnya telah disebutkan dalam Alquran 14 abad yang lalu jauh sebelum para ilmuwan NASA menemukannya. Fenomena yang ditemukan oleh NASA ini difirmankan Allah dalam surah ar-Rahman ayat 37 yang artinya: "Maka, ketika langit terbelah (meledak) lalu menjadilah ia mawar merah yang berkilat seperti minyak".
Ayat tentang mawar merah sebenarnya juga ditafsirkan sebagai bukti dari teori penciptaan oleh beberapa ilmuwan. Ahli Astronomi Amerika bernama Edwin Hubble pada 1929 menemukan fakta tentang terjadinya ledakan besar di angkasa. Teori Ledakan Besar (Bing Bang Theory) ini mengungkapkan, alam semesta termasuk bumi dan isinya itu terbentuk dari sebuah ledakan besar.
Teori ini menyatakan adanya "awal atau permulaan" pada alam semesta -- yang disebabkan oleh Big Bang. Kalau alam semesta itu memiliki permulaan, tentu saja ada yang menciptakannya, yakni Tuhan, Sang Pencipta semesta alam.
Mencari Tuhan
Tidak perlu malu untuk mencari Tuhan. Kita bisa belajar dari kisah Nabi Ibrahim yang dibesarkan oleh ayahnya Azar si pembuat berhala. Ibrahim heran mengapa ayahnya justru membuat patung untuk disembah. Ibrahim muda terus saja berpikir, mustahil baginya patung-patung itu menjadi tuhan bagi kaumnya. Dia pun termenung bersandar pada dinding gua. Pandangan matanya menatap lurus kelangit malam hari.
Dikutip dari Sejarah Nabi-Nabi Allah SWT karangan Ahmat Bahjat, Ibrahim melihat begitu banyak bintang yang indah. Dia kemudian berpikir, mungkin inilah tuhanku. Nabi Ibrahim sempat memercayai itu. Ayah Ismail itu melihat bintang yang besar, yaitu bulan. Nabi Ibrahim pun menyerukan pada kaumnya, bahwa tuhan mereka adalah bulan yang cahayanya lebih terang dari bintang yang banyak itu.
Di kemudian hari, Nabi Ibrahim kembali tidak mendapati bulan di langit. Nabi Ibrahim kembali berpikir, bulan juga menghilang sama seperti bintang-bintang kecil. Dia juga berpikir, pada esok pagi, bulan juga menghilang. Justru ada cahaya yang lebih besar dari bulan.
Cahaya yang lebih kuat, yaitu matahari. Lalu, Nabi Ibrahim meyakini inilah tuhannya, tuhan yang paling terang, tuhan yang paling kuat. Ayahanda Ismail kembali kecewa karena ketika malam datang, matahari tenggelam. Apakah bisa Tuhan tenggelam?
Nabi pemugar Ka'bah ini merenungi dengan sangat apa-apa yang telah dilaluinya. Otaknya terus saja berpikir, tentang sesuatu yang paling kuat, sesuatu yang paling terang, dan sesuatu yang tidak mungkin tenggelam. Nabi Ibrahim menyakini, bahwa bintang-bintang yang dikaguminya, bahwa bulan dan matahari yang diikutinya, semuanya bisa muncul kemudian menghilang.
Tuhan tidak mungkin seperti itu. Nabi Ibrahim meyakini, bahwa Tuhanlah yang menjadikan mereka, Tuhanlah yang memunculkan dan menenggelamkan mereka. Tuhanlah yang menciptakan mereka, alam semesta, termasuk menciptakan dan memberi kehidupan bagi manusia.
"Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami) di langit dan di bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin. (QS Ibrahim:75). Wallahualam (Dimuat di Dialog Jumat edisi 19 Mei 2017)