REPUBLIKA.CO.ID, PORTLAND -- Rumah seyogianya menjadi tempat teraman di tengah merebaknya virus corona jenis baru atau Covid-19. Pemerintah di berbagai negara menggaungkan masyarakat untuk berdiam diri di rumah atau membatasi jarak interaksi sosial (social distancing). Tujuannya tak lain demi kesehatan dan keselamatan.
Sayangnya, bagi orang-orang yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), social distancing sama artinya dengan terjebak bersama pelaku kekerasan. Para aktivis khawatir, upaya pengekangan virus corona secara tidak sengaja menyebabkan peningkatan kekerasan dalam rumah tangga.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkap, satu dari tiga wanita di seluruh dunia mengalami kekerasan fisik atau seksual. Ironisnya, jumlah pelaporan kasus KDRT paling sedikit dibandingkan pelanggaran HAM lainnya.
"Kekerasan berbasis gender cenderung meningkat selama keadaan darurat kemanusiaan dan konflik," demikian pernyataan WHO, seperti dilansir di the Guardian Sabtu (21/3).
Lembaga non-profit anti-KDRT dari Cina, Wan Fei, melaporkan Covid-19 memicu lonjakan signifikan kasus kekerasan rumah tangga. Selama Februari 2020, kantor polisi setempat mencatat adanya peningkatan pelaporan kasus KDRT sebanyak tiga kali lipat dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya.
"Menurut statistik kami, 90 persen penyebab kekerasan terkait dengan Covid-19," demikian kata lembaga Wan Fei.
Kisah serupa juga terjadi di Amerika. Pekan lalu, sebuah hotline kekerasan rumah tangga di Portland, Oregon, mencatat terjadinya peningkatan panggilan sebanyak dua kali lipat lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Hotline itu juga mengungkap, pelaku menggunakan alasan Covid-19 sebagai alasan untuk mengontrol dan mengisolasi pasangannya.
"Pelaku mengancam akan mengusir korban ke jalanan sehingga mereka akan sakit," kata CEO hotline kepada Time.
Dengan semua perhatian terfokus pada krisis kesehatan Covid-19, masalah kekerasan rumah tangga berisiko diabaikan oleh pihak berwenang. Di Inggris, misalnya, sekolah tertutup bagi semua orang kecuali anak-anak, pengajar, dan beberapa pekerja terkait. Namun pemerintah abai untuk melakukan pengawasan dan pencegahan KDRT.
Anggota Parlemen Britania Raya Dawn Butler mendesak perdana menteri segera mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut. Butler meminta Pemerintah Inggris mengalokasikan dana darurat untuk membantu orang-orang yang melarikan diri dari kekerasan rumah tangga selama krisis.
"Ada banyak wanita dibunuh setiap pekan oleh pasangan atau mantan pasangannya. Jika pemerintah gagal mempersiapkan dan merencanakan masalah ini, akan lebih banyak orang akan mati," kata Butler di akun Twitter pribadinya.
Atas dasar itu, para aktivis meminta tetangga lebih peduli dan waspada terhadap kemungkinan terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga. Mengunci diri di rumah bukan berarti memisahkan diri kehidupan sosial. Kita semua harus tetap bersatu.